SISTEM PERTANIAN ORGANIK MENDESAK DIKEMBANGKAN

ORGANIK

Oleh : Ir. Rusli M. Haz, MS. (Pemerhati Pertanian dan Lingkungan)

Tabloid-DESA.com Secara nasional produksi pangan khususnya beras mengalami penurunan yang terus meneru. Hal itu menjadi salah satu jawaban mengapa impor beras terus dilakukan oleh pemerintah untuk mengamankan stok pangan nasional.

Mengapa produksi beras menurun. Ada dua sebab utama. Sebab pertama adalah luasan sawah mengalami penurunan terus menerus setiap tahun terutama di Pulau Jawa karena terjadi konversi atau perubahan peruntukan seperti menjadi perumahan dan jalan. Di luar Jawa pun terjadi hal sama bahkan karena harga komoditi karet dan sawit meningkat maka sawah produktif dijadikan kebun karet dan sawit. Mengantisipasi hal ini telah dilakukan oleh pemerintah walaupun sedikit terlambat yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang Lahan Abadi. Implementasinya di daerah belum membuahkan hasil maksimal karena berbagai kendala. Lalu sebab kedua adalah karena penerapan sistem teknologi budidaya tanaman padi. Sebab yang kedua inilah yang akan dibahas pada tulisan ini berkaitan dengan judul mengapa pentingnya sistem pertanian organik.

Penurunan produktivitas padi sawah merupakan dampak dari penerapan sistem teknologi budidaya tanaman padi yang dilakukan sejak lama yaitu awal pemerintahan Orde Baru. Dalam rangka melipatgandakan peningkatan produksi pangan beras, pemerintahan Orde Baru sejak tahun 1964-an mengadopisi paket teknologi Revolusi Hijau (Green Revolution) yang penerapannya melalui Program Bimas. Revolusi Hijau merupakan rangkaian penelitian, pengembangan dan transfer teknologi yang bertujuan meningkatkan produksi pertanian seluruh dunia terutama pada negara-negara sedang berkembang yang dimulai pada akhir tahun 1960 dan diprakarsai oleh Norman Borlaug sebagai Bapak Revolusi Hijau (Father of the Green Revolution). Tujuannya untuk menyelamatkan jutaan manusia dari kelaparan. Revolusi Hijau dijalankan dengan mengembangkan varietas unggul (high-yielding varieties) padi-padian (serealia), memperluas infrastruktur irigasi, menyebarluaskan benih-benih hibrida, pupuk dan pestisida sintetis kepada petani dan memodernisasi pengelolaankelembagaanpetani.

Aplikasi paket teknologi tersebut di Indonesia dikenal Pancausaha Tani dengan memperkenalkan dan membagikan secara subsisidi benih padi varietas unggul, pupuk lengkap dosis tinggi, pestisida sintetis, aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT), membangun dan memperluas jaringan irigasi dan memperkenalkan dan membagikan alat mesin pertanian seperti traktor tangan untuk mengolah lahan dan sabit bergerigi untuk memanen padi. Aplikasi paket teknologi tersebut mampu melipatgandakan produksi padi nasional bahkan pada tahun 1984 mencapai swasembada pangan beras dan diberikan penghargaan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO).

Namun sangat disayangkan, pencapaian swasembada pangan beras itu hanya bertahan satu tahun dan ternyata sistem produksi dengan mengandalkan paket teknologi seperti itu menimbulkan berbagai dampak negatif sehingga tidak dapat mendukung sistem produksi berjalan secara kesinambungan dengan baik.

Apa saja dampak atau pengaruh negatif akibat dari penerapan teknologi yang disebut sebagai revolusi hijau itu. Paling tidak ada tiga dampak utama yaitu penurunan kualitas lahan sawah (lahan sawah kritis), kesehatan dan lingkungan (ekosistem) dan ketergantungan petani terhadap input produksi seperti pupuk dan pestisida dari luar sistem sehingga menyebabkan ketidakmandirian petani.

Penurunan Kesuburan Lahan Sawah

Lahan sawah kritis saat ini sudah mencapai lebih kurang 75 % dari luas lahan sawah ± 6,3 juta (Iswandi Anas, Guru Besar IPB). Lahan sawah kritis terjadi karena penurunan kualitas kesuburan tanah akibat pemakaian pupuk kimia berkonsentrasi tinggi dan dosis tinggi yang diaplikasikan dalam waktu waktu yang lama dan terus menerus. Penurunan kesuburan lahan itu menyebabkan penurunan persentase peningkatan produksi dan persentasi peningkatan produktivitas padi nasional sebagaimana diperlihatkan pada gambar 1 dan Gambar 2.

Screen Shot 2017-09-01 at 16.28.37

Penurunan produktivitas itu memperlihatkan dan membuktikan bahwa lahan sawah sudah jenuh. Penambahan dosis pupuk tidak mampu lagi menaikkan produktivitas dan bahkan cendrung menurun (declining). Hal tersebut disebabkan kesuburan fisik, kimia, dan biologis tanah sudah menurun sehingga daya dukung (carrying capacity) tanah menjadi menurun dan bahkan pemberian pupuk menjadi tidak efisien. Tanpa disadari oleh petani, pemberian pupuk hanya menambah biaya sementara produksi tidak meningkat secara berarti.

Penurunan kesuburan kimia tanah salah satunya karena pengaruh pemberian pupuk urea sebagai sumber nitrogen (N) bagi tanaman padi. Pemberian pupuk urea terus menerus menyebakan terjadi penurunan pH tanah.

Pupuk urea yang diberikan petani di dalam tanah sawah mengalami proes reaksi dengan proses akhir menghasilkan ion hidrogen (H+). Konsentrasi ion H+ yang tinggi menurunkan nilai pH tanah sampai di bawah 5 sehingga tanah menjadi reaksi asam. Turunnya pH tanah ini merupakan dampak antara saja. Dampak lanjutnya adalah berkaitan dengan ketersediaan unsur hara (makanan tanaman) di dalam tanah. Tanaman padi sebagaimana dengan tanaman lainnya membutuhkan makanan antara lain berupa unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) sebagai makanan utamanya yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (makro) dan makanan esensial dalam jumlah sedikit (mikro) antara lain adalah unsur besi (Fe), mangan (Mn) dan tembaga (Co). Ketersediaan unsur hara (makanan) tergantung pada pH tanah itu. Pada kondisi pH tanah rendah akibat pemberian pupuk urea maka tingkat ketersediaan unsur hara makro tadi yaitu N, P, dan K juga rendah sehingga tanaman kekurangan makanan karena tidak terserap oleh akar tanaman. Sebaliknya, pada kondisi pH tanah rendah, maka tingkat ketersediaan unsur hara mikro justru tinggi namun celakanya pada ketersediaan tinggi menjadi racun bagi akar tanaman padi. Pada kondisii inilah menjadi sebab pemberian pupuk anorganik seperti urea dalam jangka waktu lama dan terus menerus bukan meningkatkan produksi namun sebaliknya menurunkan produksi Inilah fakta bahwa mengapa pemberian pupuk urea pada tanaman padi secara terus menerus tidak mampu lagi menaikkan produksi padi secara signifikan. Secara finansial, pemberian pupuk tidak dapat memberikan keuntungan yang berarti. Inilah perlu upaya penyadaran kepada petani mengapa penting beralih kepada sistem organik.

Penurunan kesuburan tanah secara kimia juga terjadi karena berkurangnya bahan organik di dalam tanah. Pada sistem budidaya anorganik yang selama ini diterapkan petani hampir tidak lagi memberikan pupuk organik karena sudah terbiasa dan praktis memberikan pupuk anorganik seperti Urea, TSP, dan KCl. Sementara bahan organik yang ada di dalam tanah terus berkurang karena antara lain mineralisasi (penguraian) bahan organik berlangsung cepat karena di wilayah tropis bersuhu tinggi. Selain itu jerami padi sebagai sumber bahan organik yang jumlahnya sekitar 11,52 ton/ha tidak dikembalikan lagi ke lahan sawah dan bahkan banyak petani yang membakarnya berakibat unsur di dalamnya hilang ke udara (atmosfir).

ORGANIK1

Bahan organik di dalam tanah sawah sangat penting untuk mempertahankan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Walaupun jumlahnya sekitar 5% dari bobot tanah, bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman. Jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi.

Hubungan antara bahan organik dan pertumbuhan tanaman dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Bahan organik merupakan substrat alami untuk mikroorganisme saprofitik dan secara tidak langsung memberikan nutrisi bagi tanaman melalui kegiatan mikroorganisme tanah. Bahan organik juga penting untuk pembentukan agregat tanah dan karenanya juga untuk pembentukan struktur tanah yang pada akhirnya menentukan aerasi tanah dan perakaran tanaman.

Kesehatan dan Lingkungan

Aplikasi berbagai jenis pestisida dan herbisida baik sistemik maupun kontak dapat membahayakan terhadap kesehatan petani sebagai pekerja terus menerus di lahan usaha taninya. Efek yang ditimbulkan bersifat akut dan jangka panjang bagi pekerja pertanian yang terpapar (terkena). Paparan pestisida dapat menyebabkan efek yang bervariasi, mulai dari iritasi pada kulit dan mata hingga efek yang lebih mematikan yang mempengaruhi kerja syarat, mengganggu sistem hormon reproduksi dan menyebabkan kanker. Menurut WHO dan UNEP diperkirakan bahwa setiap tahunnya 3 juta pekerja pertanian mengalami keracunan pestisida dan 18.000 diantaranya meninggal. Dan kemungkinan 25 juta orang mengalami gejala keracunan pestisida ringan setiap tahun.

Aplikasi pestisida juga berdampak pada lingkungan (tanah, air dan udara) dan berbagai jenis organisme hidup di dalamnya. Cacing tanah misalnya yang bermanfaat sebagai pengurai (decomposer) dapat mati, burung pemakan hama belalang dan ular pemangsa hama tikus juga dapat mati dan hilang.

Pestisida juga dapat terurai dan dapat masuk ke dalam air tanah yang dapat mengkontaminasi air minum. Pestisida sistemik juga dapat meninggalkan residu pada hasil pertanian (sayur, buah dan biji-bijian) dan apabila dikonsumsi akan terakumulasi dalam tubuh menimbulkan penyakit kronis, kanker dan kelainan pada bayi yang baru dilahirkan. Air yang tercemar dengan kandungan nitrat 10 ppm sudah terbukti berbahaya bagi bayi.

Penggunaan pestisida meningkatkan jumlah permasalahan pada lingkungan. Lebih dari 90% insektisida dan 95% herbisida yang disemprotkan menuju ke tempat yang bukan target. Arus pestisida terjadi ketika pestisida yang tersuspensi di udara sebagai partikel terbawa angin ke wilayah lain, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran. Pestisida merupakan masalah utama polusi air dan beberapa pestisida merupakan polutan organik persisten yang menyebabkan kontaminasi tanah.

Ketidakmandirian atau Ketergantungan Petani

Sitem pertanian saat ini sangat luar biasa mengandalkan penggunaan agroinput yaitu pupuk, pestisida dan benih dari luar (eksternal) sistem produksi. Pupuk anorganik (kimia sintetis) yang diproduksi pabrikan seperti urea, SP-36, dan KCl harus didatangkan dari luar sistem yang jauh dan mahal bahkan ketersediaannya sering mengalami kelangkaan. Pupuk urea diproduksi dalam negeri oleh PT. PUSRI dengan bahan baku nitrogen atmosfer sementara SP-36 berbahan baku fosfat yang harus diimpor. Kebutuhan pupuk urea minimal 100 kg/ha. Dapat dibayangkan berapa banyak kebutuhan pupuk urea dengan luas tanam jutaan hektar setiap musim tanam. Setiap awal musim tanam, kelompok tani harus menyusun dan mengusulkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) untuk diusulkan mendapatkan subsidi pupuk. Jumlah subsidi pupuk jutaan ton setiap tahun dengan jumlah anggaran yang tidak sedikit. Sebagai contoh saja, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 130/Permentan/SR.130/11/2014 tanggal 27 Nopember 2014 jumlah pupuk urea, SP-36, ZA, NPK dan organik bersubsidi untuk subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan budidaya masing-masing adalah 4,1 juta ton; 0,85 juta ton; 1,05 juta ton; 2,55 juta ton, dan 1 juta ton untuk pupuk organik. Khusus untuk subsektor tanman pangan jumlah pupuk bersubsidi adalah urea (3,071382 juta ton), SP-36 (567.317 ton), ZA (713.097 ton), NPK (1.857.441 ton), dan organik (721.512 ton).

Ketergantungan petani terhadap agroinput dari luar sistem sangat rentan terhadap perubahan di luar sistem antara lain kenaikan harga yang disebabkan berbagai faktor yang berubah seperti pengurangan anggaran subsidi, kenaikan harga gas atau persoalan ketersediaan tidak tepat waktu. Kondisi yang demikian menjadikan petani tidak mandiri dan ketergantungan yang terus menerus.

Kembali ke Sistem Pertanian Organik

Solusi terhadap permasalahan pada sistem pertanian saat ini (sistem pertanian anorganik) terutama pada budidaya padi sawah harus kembali ke sistem pertanian organik (SPO). Mengapa kembali, karena dahulunya petani (nenek moyang kita) sudah menerapkan sistem pertanian organik sebelum teknologi revolusi hijau diintroduksi. Makanya sering diistilakan juga kembali ke alam (back to nature). Namun kembali ke sistem pertanian organik bukan berarti tidak memberikan pupuk dan pestisida seperti dilakukan nenek moyang kita dahulu namun bahannya bersumber dari alam yang ada di sekitar petani yang dibuat dengan bantuan teknologi, bisa sederhana ataupun canggih sesuai dengan kemampuan.

Apa sistem pertanian organik itu sebenarnya ? Banyak batasan atau definisinya. Namun dari semua batasan yang ada, dapat disederhanakan bahwa sistem pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang menggunakan agroinput dari internal sistem produksi itu sendiri. Sistem pertanian organik tidak menaklukkan alam tetapi justru menyelaraskan dengan alam. Teknologi menaklukkan alam justru telah terbukti menimbulkan banyak masalah.

Sistem pertanian organik tetap membutuhkan pupuk dan pestisida, tetapi bahan pupuk dan pestisidanya bersumber dari internal alam itu sendiri. Pupuk yang diberikan adalah pupuk kompos padat dan cair dari kotoran hewan ternak, biomasa (jerami padi, batang pisang dan lain sebagainya) yang dapat dibuat sendiri oleh petani. Demikian juga dengan pestisida dapat dibuatkan oleh petani dengan bahan-bahan seperti gadung, tembakau, buah maja, brotowali, daun/batang tuba (jenuh), sereh, dan lengkuas/laos. Karena terbuat dari bahan alami dan difermentasi dengan bantuan mikroba (mikroorganisme lokal) maka pestisida ini disebut biopestisida.

Pupuk organik sangat bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Mengapa, karena pupuk kompos baik padat ataupun cair juga mengandung unsur-unsur hara bahkan lebih lengkap, tidak hanya unsur hara makro tetapi juga unsur hara mikro serta bahan organik yang sangat dibutuhkan oleh tanah. Tujuan yang sangat prinsip dari pemberian pupuk adalah memberi makan ke tanah (feed the soil) dan lalu tanah memberikan makan ke tanaman. Jadi, penerapan sistem pertanian organik adalah untuk memfungsikan tanah sebagai bioreaktor (pabrik biologis). Karena itu, pemberian pupuk organik memperbaiki kesuburan tanah. Kehadirannya berpengaruh pada sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Memang pengaruhnya tidak secara langsung dan cepat. Pengaruhnya pelan-pelan tetapi pasti. Secara fisik, pemberian pupuk organik dapat menjadikan tanah lebih remah, gembur dan tidak padat. Tanah menjadi lebih porus (sarang) sehingga aerasi tanah menjadi lebih baik. Suplai oksigen yang dibutuhkan akar tanaman menjadi lebih banyak. Keberadaan bahan organik yang bersumber dari pupuk organik dapat meningkatkan kemampuan daya pegang air (water holding capacity) sehingga tanah tidak cepat kering dan tanaman tidak mengalami kekurangan air walaupun pada musim kemarau. Karena itu walaupun ditanam pada musim kemarau produksi padi organik tetap tinggi.

Bahan organik dari pupuk organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi (penguraian) dan mineralisasi bahan organik. Di samping mikroorganisme tanah, makro fauna tanah juga berperan dalam dekomposisi bahan organik antara lain cacing tanah. Fauna tanah ini berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan unsur hara, bahkan ikut bertanggungjawab terhadap pemeliharaan struktur tanah.

Suburnya tanah secara biologi dapat dilihat secara visual dengan adanya cacing tanah. Cacing tanah mengeluarkan sekresi (kotoran). Senyawa yang dikeluarkan cacing merupakan eksudat-eksudat yang mengandung asam-asam organik. Seterusnya, asam-asam organik itu berguna bagi mikroorganisme lain seperti bakteri dan fungi pelarut fosfat (P) di dalam tanah. Di dalam tanah sebenarnya tersedia unsur fosfat (P). Ketersediaannya dalam tanah jarang yang melebihi 0,01% dari total P. Sebagian besar bentuk fosfat terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Kebanyakan lahan sawah di Indonesia telah jenuh P. Fosfat tersebut tidak dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh tanaman karena dalam bentuk P-terikat di dalam tanah sehingga petani tetap melakukan pemupukan P walaupun sudah terdapat kandungan P yang cukup memadai. Pengikatan unsur P menyebabkan pupuk fosfat yang diberikan tidak efisien, sehingga perlu diberikan dalam takaran tinggi. Hanya 15 – 20% yang dapat diserap oleh tanaman. Namun berkat jasa bakteri pelarut fosfat maka unsur hara posfor tersedia bagi tanaman.

Jadi, secara tidak langsung, pemberian pupuk organik yang didalamnya terkandung bakteri dan fungi pelarut fosfat justru membuat unsur pospor dapat tersaji bagi tanaman. Dengan pemberian pupuk organik petani tidak perlu lagi memberikan pupuk fosfat sebagaimana dilakukan dalam bertanam padi anorganik dalam bentuk pupuk SP-36 yang harganya mahal karena bahan bakunya impor dan sering juga mengalami kelangkaan di pasaran. Selain itu dengan pengurangan pemberian pupuk fosfat buatan akan dapat mengurangi anggaran subsidi pupuk dari pemerintah sehingga anggarannya dapat dialihkan untuk membiayai penyediaan infrastruktur pertanian lainnya seperti jalan usahatani, jaringan tata air mikro dan alat-alat mesin pertanian serta pelatihan bagi petani.

Sistem pertanian organik seperti budidaya padi organik juga membutuhkan biopestisida sebagai bahan yang dapat mencegah dan mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman. Berbeda dengan pestisida anorganik yang mengandung bahan aktif kimia sintetis, biopestisida mengandung unsur mikroba dan bahan bahan aktif organik (alkaloid) yang diekstrak dari tumbuh-tumbuhan.

Bahan-bahan baku untuk pembuatan biopestisida adalah batang atau akar Tuba (Derris elliptica), buah berenuk juga dikenal dengan sebutan buah maja (Crescentia cujete), umbi gadung (Discorea hispidadennst), tembakau (Nicotiana tabacum), brotowali, dan serai. Bahan-bahan tersebut sangat berlimpah di tingkat petani dan dapat diproses secara mudah oleh petani dengan teknologi sederhana.

Tumbuhan tuba (Derris eleptica) yang merupakan tumbuhan liana (tumbuhan memanjat) berkayu, merambat, membelit dan tumbuh liar di semak-semak dekat tepi hutan dan tepi sungai. Tumbuhan ini adalah salah satu sumber biopestisida. Di dalamnya terkandung alkaloid Rotenon (C23H33O6) bersifat racun kontak dan racun perut untuk mengendalikan serangan hama dengan spektrum luas. Karena sifat toksisitasnya yang kuat, ekstrak Rotenon dari tumbuhan ini biasa dimanfaatkan untuk meracuni ikan di sungai oleh masyarakat pedesaan di Negara Fiji, New Guinea dan Indonesia. Bahkan ekstrak Rotenon bubuk masih dijual di Amerika Serikat sebagai negara maju, kenapa di Indonesia tidak digalakkan.

Berenuk (Crescentia cujete Linn) yang juga disebut buah maja atau kayu labu ( di beberapa daerah Sumatera Selatan) sangat banyak dan mudah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Sumatera Selatan banyak ditemui di pinggiran jalan dan pembatas tanah sawah dan kebun. Tumbuhan ini mempunyai potensi manfaat yang besar. Daun dan batangnya mengandung saponin dan folipenol. Dalam buahnya terkandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, polifenol, vitamin A, C, E, niasin, riboflavin, thiamin, karbohidrat, dan mineral-mineral yang mencakup natrium, kalium, kalsium, fosfor, magnesium, besi, zeng, dan tembaga. Dari analisa fitokimia ternyata juga buahnya mengandung hidrogen sianida (hydrogen cyanide – HCN).

Senyawa HCN ini mempunyai daya racun yang kuat dan cepat. Pada manusia dan hewan-hewan berdarah panas termasuk tikus racun ini dapat menghambat kerja enzim pernapasan dan menyebabkan oksigen tidak dapat diabsorbsi jaringan dari dalam darah secara normal. Dengan daya racun kuat dan cepat, senyawa ini digunakan pada pengendalian hama. Senyawa racun ini sangat populer dan banyak digunakan pada fumigasi di gudang-gudang makanan untuk membunuh hama serangga termasuk hama tikus. Dengan kandungan HCN maka buah berenuk berkhasiat sebagai pengendali hama seperti tikus. Ketela pohon jugan mengandung HCN. Keampuhan HCN untuk mengendalikan hama juga telah dibuktikan bahwa ekstrak air umbi ketela pohon dengan konsentrasi 4 mg/liter larutan yang mengandung HCN dapat mematikan hama keong emas.

Umbi gadung (Dioscorea composita) mengandung dioscorine (racun penyebab kejang), saponin, amilum, CaC2O4, antidotum, besi, kalsium, lemak, garam fosfat, protein, dan vitamin. Sama dengan buah berenuk di dalam umbi gadung juga terdapat  zat beracun berupa asam sianida (HCN)  yang juga merupakan bahan aktif dalam pengendalian tikus. Gadung merupakan kelompok tanaman yang mampu membatasi jumlah keturunan tikus, sehingga memberikan prospek yang baik untuk bahan pengendalian hama tikus. Bahan kimia diosgenin yang terkandung dalam umbi gadung dapat digunakan sebagai obat antifertilitas (memandulkan) yang efektif, khususnya bagi hama tikus.

Daun tembakau mengandung senyawa nikotin sebagai alkaloid sebanyak 2 – 8%. Racun nikotin ini merupakan racun kontak terhadap beberapa jenis ulat dan serangga penghisap yang bertubuh lunak. Masyarakat sudah lama mengenal tembakau untuk mengendalikan hama. Kalau mau masuk hutan atau sawah daun tembakau ditempelkan dikaki agar tidak digigit lintah atau pacet.

Brotowali (Tinospora crispa (L.) MIERS sangat terkenal karena banyak manfaatnya untuk kesehatan termasuk salah satunya bahan baku pembuatan jamu. Banyaknya manfaat tumbuhan ini berkaitan dengan banyaknya jenis senyawa kimia yang dikandungnya, antara lain, alkaloida, damar lunak, pati, glikosida, zat pahit pikroretin, harsa, barberin, palmatin, kolumbin, dan jatrorhize. Kandungan alkaloid berberin berguna untuk membunuh bakteri.

Sereh (Cymbopogon citratus) tidak hanya berguna untuk penyedap masakan juga dengan berbagai kandungan senyawa dapat memberikan banyak manfaat. Daun sereh mengandung 0,4% minyak atsiri dengan komponen yang terdiri dari sitral, sitronelol (66-85%), α-pinen, kamfen, sabinen, mirsen, β-felandren, p-simen, limonen, cis-osimen, terpinol, sitronelal, borneol, terpinen-4-ol, α-terpineol, geraniol, farnesol, metil heptenon, n-desialdehida, dipenten, metil heptenon, bornilasetat, geranilformat, terpinil asetat, sitronelil asetat, geranil asetat, β-elemen, β-kariofilen, β-bergamoten, trans-metilisoeugenol, β-kadinen, elemol, kariofilen oksida.

Dari tanaman sereh yang larut dalam petroleum eter tanaman sereh berefek sebagai penolak serangga. Dengan dasar itu maka sereh digunakan sebagai bahan baku pembuatan biopestisida.

Biopestisida yang terbuat dari beragam bahan sebagaimana telah diuraikan di atas itu mempunyai sifat yang sangat lengkap, ada yang mematikan, memandulkan, dan menolak hama. Dengan bahan baku lokal dan dapat dibuat sendiri dengan teknologi sederhana tentu biaya pembuatannya sangat murah. Petani dapat membuatnya kapan saja diperlukan dan dapat menggunakannya dalam jumlah dan frekuensi lebih banyak. Berbeda dengan pestisida anorganik, aplikasi biopestisida tidak menimbulkan efek samping bagi hama seperti hama menjadi kebal (resistensi) dan ledakan jenis hama lain (resurgensi). Bagi lingkungan, penggunaan biopestisida tidak menimbulkan residu pada lingkungan karena mudah terurai.

Pengenalan teknologi inovasi pupuk organik dan biopestisida kepada petani khususnya petani organik telah memberikan dampak positif. Dari aspek bisnis dapat mendorong bisnis hulu yaitu usaha penyediaan bahan baku sehingga dapat menimbulkan lapangan usaha dan penciptaan lapangan kerja baru. Dari aspek tehnis, tanah sawah menjadi lebih subur, petani menjadi lebih sehat karena tidak mengisap racun saat menyemprot tanamannya, produk yang dihasilkan lebih sehat karena tidak ada residu pestisida, dan yang paling penting dari semuanya adalah petani menjadi mandiri. Petani tidak perlu lagi repot dan pusing sebagaimana biayanya setiap awal musim tanam harus memesan dan membeli pupuk dan pestisida yang tidak hanya harganya mahal tetapi juga sering langka.

Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan petani, apakah produksi padi sawah yang ditanam secara organik lebih tinggi dari yang ditanam secara anorganik. Pada tanah sawah yang sudah rusak/kritis/tidak subur lagi, produksi padi organik relatif lebih rendah selama 2 sampai 3 musim tanam. Produksi akan meningkat dan bahkan lebih tinggi setelah musim tanam berikutnya. Pada tahap awal ada proses penyembuhan selama masa peralihan. Untuk mengatasi masalah ini ada dua pendekatan. Pertama, diterapkan secara semi organik yang mana masih menggunakan pupuk anorganik dengan dosis setengahnya. Secara perlahan dosis anorganik dikurangi terus sampai tidak sama sekali menggunakan pupuk anorganik. Pendekatan kedua adalah langsung tidak menggunakan pupuk anorganik atau dengan kata lain full pupuk organik. Petani akan mengalami keruginan hasil dalam jangka pendek. Untuk merangsang petani mau menerapkan full organik bisa dibantu konpensasi melalui program pemerintah dengan memberikan bantuan biaya sarana produksi organik.

Peralihan ke sistem pertanian organik merupakan soluasi jangka panjang terhadap permasalahan-permasalahan pada sistem pertanian saat. Secara filosofis, peralihan ini menuju pada tiga hal, yaitu perbaikan sistem pada tanah, menyehatkan (petani dan konsumen), kemandirian petani dan masyarakat desa. Capaian terhadap tiga hal tersebut sangat funda mental (mendasar). Namun merubah sebuah sistem tidak mudah dan tidak cepat. Perubahan sistem ini membutuhkan dorongan kebijakan tepat dengan implementasinya yang sungguh-sungguh oleh pemerintah mulai dari pusat sampai tingkat paling bawah melalui sinergi yang kuat dari semua pemangku kepentingan, semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *