Tabloid-DESA.com – Berbagai peristiwa politik yang semakin hangat menjelang pilkada serentak, kian memanaskan iklim politik di Palembang. Perbincangan seputar dukungan kemenangan pada calon Bupati-Wakil Bupati, Wali Kota-Wakil Walikota, Gubernur-Wakil Gubernur memanaskan atmosfer hati. Bagaimana tidak, mesin politik seakan menjadi kompor yang memang memicu panasnya para pendukung-atau kontra pendukung calon satu dengan lainnya. Aksi demonstrasi yang “sengaja” atau “tanpa sadar”, menyindir atau tidak berniat menyindir terus berkecamuk.
Pembicaraan politik dan dukungan, menyebar mulai dari hotel, restoran, café, warung kopi, sampai warung emperan berlanjut tanpa memahami gerak-gerik para elite yang dengan sengaja “memaksa” masyarakat untuk segera menentukan pilihannya.
Kecamuk semakin menjadi-jadi, saat Lembaga-lembaga survey ternama mengeluarkan hasil surveynya yang di rilis oleh media massa. Klaim kemenangan para pasangan calon lewat prediksi angka-angka dengan metodologi yang terukur, memperkuat kepercayaan diri para calon kepala daerah. Para pendukung kian emosional, partai politik menekan para kadernya untuk terus bergerak hingga ke pelosok dan meyakinkan para pendukungnya untuk berkomitmen memilih salah satu paslon yang sudah di rekomendasikan oleh partainya.
Memang sangat klasik, namun warna demokrasi kian ketara saat masyarakat kelas bawah dengan bangga memakai baju-baju yang bertuliskan salah satu Paslon Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Seakan, rakyat terasa benar-benar mendukung dan hanya satu suara untuk kemenangan sang paslon.
Hari ini abang becak menggunakan kaos berwarna merah bergambar paslon Nomor A, besoknya lagi abang becak tidak segan menggunakan kaos berwarna biru bergambar paslon C. Tidak salah dengan mereka, karena setiap kali ada pengerahan massa warga ramai-ramai ikut. Siapa yang tidak tertarik dengan uang Rp50ribu plus nasi bungkus, kemudian mendapat baju beratribut paslon yang bisa di gunakan untuk bekerja.
Apa yang dirasakan masyarakat? Tentu berbeda satu dengan lainnya. Kenyataannya harus pula di sesuaikan dengan tingkat strata sosial masyarakat secara keseluruhan.
“Abang itu orangnya baik dan perhatian pada kita. Kalau dia nanti jadi Gubernur, jalan kita ini tidak akan becek lagi dan dijamin mulus. Kita-kita sebagian tukang becak ini, bakal di beri keringanan kredit becak,” ungkap seorang Abang becak yang mulai sedikit cerdas.
Masih di kampung yang sama, mereka yang tamatan SMA sederajat mulai melek politik. Yang ada difikiran mereka justru berbanding terbalik, lalu bicara sinis.
“Apaan baik, pas ada “kendak” mau nyalon rela datang. Kalau sudah terpilih, noleh saja kepalanya berat. Apalagi mau perhatian,” kata dia.
Obrolan sedikit menjadi Panjang.
“Eh, kemaren kan satu suara Rp100ribu lho. Siapa tahu tahun ini nanti ada tambahan duit sama sembako. Sudahlah, pilih yang ngasih duit sama sembako. Terus lupakan,” jelasnya.
Hanya sebagian kecil warga setempat yang memiliki Pendidikan tinggi. Dua orang lulusan sarjana universitas negeri di Palembang, dan satu orang lainnya adalah dosen lulusan S2 dari luar kota. Ketiga orang ini justru bertengkar hal lain, dan bukan mendukung para calon.
“Kalau saya, asalkan calon itu menang pasti saya dukung. Program kerja mereka sih, sama saja. Tidak ada yang realistis. Mustahil, dan tidak akan bisa di capai hanya dalam waktu 5 tahun. Sudahlah, dengan dana APBD sekian, mau mencapai mimpi ini-itu. Tragis bro,” kata lulusan S2 itu.
“Kalau saya sih, berfikirnya bagaimana nanti calon ini bisa memberikan kesejahteraan bagi warga Palembang secara keseluruhan. Bisa dapat pinjaman modal. Kan kami juga nanti yang bakal dapat keuntungan. Bukannya dapat duit Rp100-Rp200 ribu itu. Mahap lah, kalau duit segitu bisa beli hak pilih kita,” kata tamatan S1.
Bagaimana dengan para pemilih pemula, yang tahun ini mereka berusia 17 tahun. Secara emosional mereka sedang lincah-lincahnya, tidak lepas dari keceriaan dan semangat yang membara.
“Politik itu kejam, politik itu hanya tipu-menipu. Sudahlah, mari kita hidup dan mencapai mimpi untuk masa depan lebih baik. Mari golput, biarkan golput menang. Jangan ajak kami masuk dalam ranah politik, dan kami tidak ingin dipolitisasi,” kata mereka tidak perduli.
Semua pembicaraan itu tampak pintar, tampak cerdas. Tidak ada yang perlu disalahkan. Karena mereka adalah kita, rakyat warga Provinsi, warga Kota/Kabupaten, yang punya cita-cita untuk mensejahterakan keluarga. Mampu mencukupi sandang,pangan,papan, bahkan tidak di susahkan oleh berbagai kebijakan yang tidak popular yang dapat menyengsarakan selama lima tahun berikutnya. Wallahu A’lam.