Tabloid-DESA.com — Peci atau yang sering kita sebut juga kopiah, sebagian dari kita kerap diidentikkan dengan kaum muslim, akan tetapi sebenarnya jauh daripada itu; aksesori penutup kepala yang satu ini boleh dikatakan sebagai identitas lelaki Indonesia. Selain menampilkan kewibawaan, kegagahan, dan kesan rapi sehingga cocok dipadukan dengan setelan jas untuk acara formal. Sejarah pun membuktikan bahwa peci bukanlah identitas keagamaan, melainkan kebangsaan dan semangat nasionalisme.
Dalam sejarah kepopuleran peci, kita boleh berterima kasih pada presiden pertama kita, Ir. Soekarno. Di masa penjajahan, Bung Karno mengenakan peci sebagai simbol pergerakan dan perlawanan terhadap penjajah. Dalam buku otobiografinya “Penyambung Lidah Rakyat” yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno bercerita bagaimana ia bertekad mengenakan peci sebagai lambang pergerakan.
Di masa itu, ketika pergerakan masih bersifat kedaerahan, para tokoh lebih sering menggunakan blangkon atau surban. Maka, Bung Karno yang memiliki jiwa nasionalisme mulai mengenakan peci sebagai simbol “kepribadian Indonesia” dan selanjutnya diikuti oleh kaum cendekiawan pro-pergerakan nasional, dan sejak saat itu banyak tokoh nasional yang seakaan tak pernah lepas mengenakan peci. Hingga usia senjanya pun, Soekarno terus memakai peci hitamnya.
Kecuali Megawati Soekarnoputri tentu saja, semua Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, punya foto resmi dengan kepala tertutup peci. Tampilan mereka yang gagah dengan jas dan peci terpampang di dinding-dinding sekolah dan kantor-kantor pemerintahan.
Tidak hanya para pemimpin negeri ini yang mengenakan peci. Mereka yang ingin menjadi calon kepala daerah, calon anggota dewan pun kebanyakan berkampanye dengan menampilkan fotonya yang gagah mengenakan peci. Tak peduli apapun agamanya, foto kampanye baru terasa sah jika mengenakan peci. Terasa lebih berwibawa, gagah, sekaligus nasionalis. Kombinasi maut yang diharapkan bisa menggaet suara untuk memenangkan pemilu.
Dalam acara resmi kenegaraan, presiden juga biasanya mengenakan peci. Acara pelantikan pejabat, Upacara 17 Agustus, tidak sah jika pejabat yang menghadiri tidak mengenakan peci. Peci memang kini telah menjadi sebuah identitas kebangsaan. Atas alasan itulah Walikota Bandung, Ridwan Kamil terhitung sejak 2014 mewajibkan mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Bandung mengenakan peci setiap hari Jumat. Bagaimana perjalanan peci sehingga bisa menjadi sebuah simbol identitas nasional?
Perjalanan Peci
Peci bisa diartikan juga sebagai kopiah atau songkok. Bicara soal sejarah peci, sebagian orang akan mengacu pada Fez, tutup kepala kaum nasionalis Turki atau petje dari bahasa Belanda, artinya topi kecil. Sementara nama kopiah, orang Islam Indonesia mengacu pada keffieh, kaffiyeh atau kufiya dari bahasa Arab. Artinya, tutup kepala juga, tetapi bentuknya tak seperti peci atau songkok.
Sementara, istilah songkok, mengacu dari bahasa melayu dan Bugis. Di beberapa daerah di Indonesia dengan pengaruh Melayu dan Bugis, menyebut peci sebagai Songkok. Demikian pula di Malaysia dan Brunei.
Sebelum ada peci, laki-laki di Indonesia terbiasa menutup kepala dengan ikat kepala. Tanpa tutup kepala, seorang laki-laki dianggap tak jauh beda dengan orang telanjang. Tutup kepala adalah bagian dari kesopanan.
Menurut Rozan Yunos, dalam artikelnya The Origin of the Songkok or Kopiah di The Brunei Times, peci diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Arab yang menyebarkan agama Islam. Rozan juga menyebut beberapa ahli berpendapat di Kepulauan Malaya peci atau kopiah ini sudah dipakai pada abad XIII. Setelah dipopulerkan para pedagang Arab itu, baru orang Malaysia, Indonesia dan Brunei mengikutinya.
Peci mulai ramai dipakai di Indonesia setelah kain lebih mudah diperoleh. Pemakainya tak selalu berbaju resmi. Ada yang menggunakan peci meski bercelana pendek. Penggunanya pun bukan hanya dari kalangan berada, tetapi juga rakyat jelata.
Bagian dari Sejarah
Peci ikut mewarnai sejarah Indonesia. Banyak tokoh pergerakan nasional setelah tahun 1920an mengenakan peci. Muhammad Husni Thamrin, yang sejak 1927 terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menghadiri sidang dengan kepala tertutup peci. Kemungkinan, sejak kecil Thamrin sudah berpeci dan masih mempertahankan peci sebagai identitasnya hingga dia meninggal.
Begitu pun Bapak Bangsa sekaligus Bapak kos Soekarno, Hadji Oemar Said Cokroaminoto. Dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Cokro sempat mempergunakan blangkon sebagai identitas yang diikuti banyak pengikutnya. Belakangan, baik Cokro maupun Soekarno pun berpeci. Blangkon mereka tinggalkan.
Sebagai Ketua umum Sarekat Islam (SI), kebiasaan Cokro tentu diikuti. Awalnya, SI hanya berkembang di Jawa saja. Belakangan, SI berkembang di wilayah di mana blangkon bukan tutup kepala lagi. Apalagi pengurus SI lain yang bernama Agus Salim pun orang Padang. Salim semasa muda juga kebarat-baratan. Belakangan, foto-foto Agus Salim kebanyakan berpeci.
Setelah Indonesia merdeka, seorang pahlawan keturunan Belanda bernama Douwes Dekker pun pakai peci di masa tuanya. Ketika dia jadi menteri. Di masa lalu, dia tak berpeci. Peci tetap jadi tutup kepala yang umum.
Meski tak resmi, Peci sering dipakai sebagai anggota Tentara atau laskar. Tak ada baret, para pahlawan Indonesia tetap terlihat gagah. Panglima Besar, Letnan Jenderal Soedirman pun juga berpeci seperti Soekarno. Dalam acara resmi, Soedirman lebih sering berpeci.
Hingga kini, barangkali sosok laki-laki Indonesia sejati adalah yang berpeci. Dan seharusnya semua yang mengenakannya menjadikan peci sebuah tutup kepala penjaga kehormatan yang selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu menjadi laki-laki Indonesia yang berperilaku terhormat. (Kadin Kum’ala)