Profesi Wartawan dan Kontribusinya Terhadap Dinamika Pondok Pesantren  Serta Penyebaran Dakwah Islam

Sarono P Sasmito saat menguraikan pentingnya profesi wartawan dalam menulis  pemberitaan dinamika positif pondok pesantren dalam pembangunan negara.

Oleh Sarono P Sasmito SPd (Pemimpin Redaksi Swarnanews.co.id dan Kepala MA Ponpes Albasya) (*)

 

TABLOID-DESA.COM–Berdasarkan telaah sejarah dan berbagai artikel  menyebutkan,  institusi   pondok   pesantren   yang   ada   saat   ini   merupakan   rangkaian   panjang dinamika  pendidikan  Islam  di  Indonesia,   yang  merupakan  hasil  dari  akulturasi  budaya yang  ada  dan  berkembang  di  Indonesia.  Pendidikan  Islam  di Indonesia   tumbuh   dan   berkembang   seiring   dengan   upaya   dakwah   Islamiyyah   dan perkembangan pemeluk agama Islam di Indonesia.

Menurut K.H. Imam Zarkasyi, dalam buku “Pekan Perkenalan Pondok Modern Gontor”, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama, di mana kiai sebagai sentral figurnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kiai yang diikuti santri selaku kegiatan rutinnya (Muhakamurrohman, 2014: 116).

Pendidikan Islam sebagai sebuah struktur bisa dimengerti bahwa dalam pendidikan Islam terkandung ide, dasar-dasar, dan subsistem lainnya yang saling berkaitan (Basri, 2009:148). Pendidikan Islam ialah salah satu bagian dari ajaran Islam secara keseluruhan. Karenanya, harapan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yakni meciptakan pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan mampu mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat (Azra, 2012:8). Al-Abrasyi menyatakan pendapat bahwa pembentukan moral yang tinggi merupakan tujuan yang utama dari pendidikan Islam. Pendidikan budi pekerti merupakan jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam sudah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak ialah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna merupakan tujuan sebenarnya dari pendidikan. Tujuan pokok dari pendidikan dalam satu kata yakni keutamaan (Assegaf, 2013:206).

Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang bersifat keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyediakan pendidikan diniah atau secara terpadu dengan macam-macam pendidikan lainnya, yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli agama dan atau menjadi muslim yang mempunyai keterampilan atau keahlian untuk membina kehidupan yang Islami di masyarakat.

Di sisi lain, perkembangan pendidikan Islam di Sumatera Selatan mengalami momentum kebangkitan pada tahun 1925 setelah munculnya lembaga pendidikan Islam dalam bentuk yang benar-benar klasikal dalam konsep modern yang diawali berdirinya Madrasah Diniyah Aliyah di Kampung 28 Ilir. Madrasah ini didirikan oleh “Perkumpulan Dagang Islam Palembang” yang memiliki peranan penting dalam mensponsori pembangunan Madrasah secara financial, walaupun dalam praktinya Madrasah ini mengandalkan firma H. Akil (serikat dagang antara beberapa perusahaan) yakni suatu perusahaan perdagangan kopi dan karet di Palembang. Sekolah ini menyelenggarakan jenjang pendidikan untuk sekolah tingkat dasar dan menengah (Tsanawiyah) sejak awal berdirinya hingga saat ini.  Kemudian ada madrasah Qur’aniyah yang cikal bakalnya mulai ada pada tahun 1924, madrasah ini mengalami perkembangan sejak awal berdirinya 1924 sampai tahun 1955. Tahun 1930-an muncullah berbagai lembaga pendidikan Islam lainnya di berbagai wilayah Sumatera Selatan diantaranya: Madrasah Nurul Falah yaitu yang terletak di jalan Ki. Rangga Wirasantika, Kecamatan Ilir Barat. II Kota Palembang. Perguruan Muhammadiyah ialah berada di Seberang Ulu II, Kota Palembang, dan Madrasah Ma’had Islami juga terletak di 5 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang yang merupakan beberapa lembaga pendidikan yang muncul di kota Palembang (Seno & Hasanadi, 2014: 8-10).

Untuk di wilayah Ogan Ilir tercatat diantaranya nama Ponpes Nurul Islam di Desa Seribandung Tanjung Batu menjadi garda terdepan dan ponpes yang popular saat ini. Kemudian muncul nama-nama Ponpes Raudhatul Ulum Sakatiga, Ponpes Al-Ittifaqiah  merupakan pondok pesantren modern yang perkembangannya cukup pesat di wilayah Sumatera Selatan tepatnya berada di Ogan Ilir. Di samping kedua ponpes tersebut dinamika pertumbuhan ponpes di Sumsel terbilang sangat pesat.

Berdasarkan data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, terdapat 30.494 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia pada periode tahun ajaran 2020/2021.

Berdasarkan wilayahnya, Jawa Barat menyumbang jumlah pondok pesantren terbanyak di Tanah Air pada periode tersebut. Jumlahnya mencapai 9.310 pondok pesantren atau sekitar 30,53% dari total pondok pesantren secara nasional.

Banten menempati peringkat kedua dengan total 5.344 pondok pesantren pada periode yang sama. Jawa Timur menyusul di peringkat ketiga dengan 5.121 pondok pesantren. Lalu, sebanyak 3.927 pondok pesantren berada di Jawa Tengah. Kemudian, ada sebanyak 1.286 pondok pesantren dan 904 pondok pesantren berada di Aceh dan Lampung. Nusa Tenggara Barat tercatat memiliki 730 pondok pesantren. Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan DI Yogyakarta masing-masing memiliki 378 pondok pesantren, 342 pondok pesantren, dan 337 pondok pesantren.

 

BERIKAN MASUKAN DAN SARAN: Ustadz Abdul Gamal SPdI Kepala SMPIT Ponpes Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya Ogan Ilir Sumsel saat memberikan masukan dan saran pada seminar tersebut.

 

Permasalahan  Yang Dihadapi Santri dan Strategi Solusi

Perkembangan Ponpes dan demikian besarnya andil pemberitaan terhadap kemajuan ponpes ternyata tidak diimbangi dengan pertumbuhan jumlah wartawan yang memiliki kepedulian untuk memberitakan hal-hal berkaitan dinamika ponpes dan dakwah Islam. Di sisi lain, fenomena yang hingga kini masih dihadapi adalah kondisi santri yang masih  kurang memahami pentingnya menjadi jurnalis yang melakukan peran control dan pengawasan sosial terhadap informasi keagamaan dan pesantren untuk pengembangan public sphere yang sehat.  Kurangnya informasi dan pengetahuan tentang peran dan fungsi jurnalis untuk membangun public sphere. Untuk itu perlu dilakukan:  Penyebaran informasi;  Pemberian ceramah dan diskusi;  Pelatihan jurnalistik.

Kemudian santri kurang memahami tentang realitas media dan objektivitas karena kurang informasi   dan pengetahuan tentang peran media dan membangun objektivitas informasi. Untuk itu diperlukan langkah-langkah:  Pemberian informasi tentang objektivitas; Pemberian ceramah dan diskusi dan pemberian workshop peran media massa.  Lalu yang tidak kalah penting santri kurang memahami tentang beberapa produk jurnalistik antara lain : berita, feature, opini, dan berita sesuai kode etik jurnalistik.  Untuk itu mendesak untuk segera dilakukan:  Pelatihan jurnalisme warga yang meliputi berita dan feature (hard news dan soft news); Pelatihan penulisan opini dan artikel; Pemberian informasi tentang kode etik jurnalistik.

Di sisi lain yang tak bisa dianggap ringan: santri kurang mengerti perannya dalam ruang-ruang publik dalam berkolaborasi dengan masyarakat ekonomi dan perguruan tinggi. Kurang memahami Peran di ruang public dan kerjasama dengan masyarakat sipil dan perguruan tinggi. Sebagai solusinya perlu diberikan: pemberian informasi dan diskusi. Lalu menghadapi kondisi santri kurang memahami perannya sebagai pengawas social untuk melaporkan peristiwa di sekitarnya melalui jurnalisme warga, kurang informasi tentang peran pengawasan social dan melaporkan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Untuk itu perlu: Pemberian informasi dan ceramah mengenai peran jurnalisme warga bagi mereka.

Peran Wartawan dalam Pengembangan Ponpes dan Dakwah Islam

Penulis menguraikan data pada pendahuluan dimaksudkan bahwa dinamika pertumbuhan dan perkembangan ponpes di tanah air dan terkhusus di Sumsel mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di sisi lain melalui pemberitaan positif yang tersebar luas di masyarakat menumbuhkan  animo orangtua dan kepercayaan orangtua  menitipkan anak-anak mereka ke ponpes makin tinggi.

Makalah sederhana lebih bersifat subyektif berdasarkan pengalaman empiris yang  penulis jalani sebagai wartawan dalam kurun waktu kurang lebih selama 30 tahun. Berbekal pengalaman organisasi di HMI dan kecintaan penulis terhadap nilai-nilai keislaman maka sejak kecil menyukai buku-buku Buya Hamka baik Tafsir Al Azhar, Lembaga Budi, Falsafah Hidup, Majalah Panjimas dan lainnya. Di HMI Cabang Palembang pun mendirikan Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI).  Inilah yang menjadikan penulis memiliki keyakinan bahwa jurnalispun dapat menjadi pendakwah melalui berbagai tulisan yang dipublikasi baik melalui media cetak, elektronik maupun online.

Sesungguhnya, media massa, baik cetak maupun elektronik memiliki tanggung jawab untuk kemajuan bangsa dengan jalan mencerdaskan masyarakat melalui pemberian informasi yang memiliki nilai positif sebagaimana perintah Islam, bukan sebaliknya. Salah satu fungsi media menurut pelopor teori komunikasi Harold D. Laswell untuk mendidik. Tapi dewasa ini, banyak ditemui sejumlah media justru mengabaikan fungsi utamanya, melanggar Kode Etik Jurnalistik atau KEJ hingga mengingkari Al Quran. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk tetap teguh dan tak pernah putus asa untuk memberitakan hal-hal positif tentang ponpes dan syiar Islam.

Sejak bekerja sebagai wartawan penulis semakin intens dalam menulis berbagai hal tentang keislaman dan  dakwah. Dari rentang waktu sekian lama pemberitaan positif terhadap dinamika Ponpes juga menjadi penyumbang positif terhadap perkembangan dan kemajuan ponpes baik di Sumsel khususnya maupun Indonesia pada umumnya.

Kesimpulan dan Saran

Realita itu membuktikan peranserta wartawan dalam dunia pendidikan Islam khususnya pondok pesantren sangat relevan dan berpengaruh signifikan bagi  pertumbuhan dan perkembangan  pondok pesantren. Menginformasikan kepada masyarakat bahwa pendidikan Islam di era sekarang ini sangat urgen bagi generasi penerus bangsa di tengah dekadensi moral yang makin kronis. Wartawan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dengan sajian  tulisan yang santun dan menarik dibaca sehingga terketuk untuk menitipkan pendidikan anak-anak mereka di Pondok Pesantren dan memberikan dukungan baik material maupun moral.

Penulis berharap dengan banyaknya anak-anak yang menggali ilmu di pondok pesantren akan tercipta generasi-generasi Islami yang santun, berakhlak mulia dihiasi dengan ilmu-ilmu dunia dan akhirat yang tidak tergilas oleh zaman. Tangguh dalam menghadapi persaingan global saat ini dengan tidak melupakan bahwa dirinya adalah muslim sejati.

(*) Disajikan Pada Seminar Pendidikan oleh Organisasi Daerah (Orda) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kabupaten Ogan Ilir di Kampus PPM Albasya Desa Payakabung Indralaya Utara Ogan Ilir Sumatera Selatan.