Tabloid-DESA.com Masih banyaknya proyek pembangunan di daerah masih belum berjalan maksimal, menyebabkan realisasi penyerapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada semester 1 tahun 2017 masih sangat rendah, padahal jika dilaksanakan secara optimal bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPRD RI, Ir. H. Achmad Hafisz Tohir dalam paparan di Furum Group Discussoin yang diselenggaran Bank Indonesia dan LPS.
Di provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), realisasi APBN baru mencapai 36,1 persen atau baru Rp 4,589 triliun dari total pagu anggaran tahun 2017 sebesar Rp12,710 Triliun. Kondisi ini bahkan lebih rendah 0,4% dari periode sama tahun 2016, juga lebih rendah 3,9% dari realisasi nasional.
Di Kabupaten Musi Rawas (Mura) terjadi penyerapan APBN paling tinggi yaitu 49,6 persen, sementara Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) sebagai kabupaten baru menyerap anggaran dana paling kecil yaitu sebesar 21,2 persen.
Menurut data Triwulan III, tahun 2017, penyerapannya baru sekitar 58,8% dari pagu. Artinya masih tersedia dana yang belum terserap sekitar Rp5,52 triliun dana APBN yang mengendap di sejumlah satuan kerja penerima anggaran.
Seharusnya target serapan anggaran 60-75 persen per triwulan III 2017. Artinya kegiatan pembangunan maupun program yang dilaksanakan pemerintah daerah berjalan optimal.
Jika dibanding periode sama tahun lalu, penyerapan APBN tahun ini agak lebih baik atau meningkat 2,9%.
Untuk APBD: Untuk semester 1, Realisasi pendapatan sudah mencapai 54,5 persen atau Rp18,48 T dari total pagu 2017 Rp33,88 T, tetapi serapan belanja dan transfer masih melorot. Baru 35,5 persen atau Rp11,27 T dari total pagu Rp31,75 T.
Realisasi per triwulan III 2017 baru mencapai 57,45 persen dari pagu Rp 33,35 Triliun.
Dari 18 pemda di Sumsel, yang paling rendah penyerapannya Muratara 43,39%. Yang tertinggi OKU 68,68 persen. Penyebabnya klasik sama seperti tahun-tahun sebelumnya, karena keterlambatan pengajuan anggaran dari batas waktu yang ada khususnya untuk belanja fisik.
Rata-rata belanja fisik itu, baru mulai kontrak dan jalan sekitar Maret-April 2017. Jadi penyusunan program pemda mestinya sudah dilakukan akhir tahun. Padahal Menteri Keuangan menargetkan proses kontrak bagi pembangunan tahun anggaran berikutnya dipercepat, paling tidak awal tahun sudah rampung.
Untuk dana transfer daerah, per semester 1 2017 realisasinya sudah 58 persen atau Rp15,59 triliun dari pagu Rp27,02 triliun.
Kendati begitu, rata-rata proyek skala besar khususnya yang bersumber dari dana APBN lebih cepat, contohnya LRT (light rail transit).
Perlambatan banyak terjadi di proyek sedang dan kecil didanai APBD. Dibanding belanja fisik atau barang, pemda justru paling banyak itu belanja pegawai.
Di APBD, belanja pegawai sudah mencapai 41 persen atau Rp4,7 T, tapi belanja barang lambat baru 33 persen atau Rp2,367 T.
Bahkan belanja modal baru 19,7 persen atau Rp1,55 T. Berdasarkan data yang ada, diperkirakan serapan APBN maupun APBD di Propinsi Sumatera Selatan di akhir tahun hanya akan mencapai 90 persen.
Serapan anggaran yang kurang optimal akan mereduksi akselerasi pertumbuhan ekonomi, karena komponen pertumbuhan ekonomi terdiri dari Konsumsi rumahtangga, konsumsi swasta, konsumsi pemerintah (belanja modal pemerintah), dan perdagangan internasional netto (export-import).
Apabila serapan anggaran tidak optimal, maka elemen konsumsi pemerintah sebagai kontributor penggerak pertumbuhan ekonomi akan terganggu.
Akibat lain dari serapan anggaran yang kurang optimal ini akan menurunkan jumlah lapangan kerja, yang pada ujungnya akan mengakibatkan pengangguran
Permasalahan klasik mengenai penyebab tidak optimalnya serapan anggaran biasanya hanya berkisar pada masalah birokrasi, yang menjadikan proses lelang pekerjaan menjadi mundur.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, sebaiknya segenap komponen pemeriuntah daerah dapat selalu bersinergi, sehingga proses tender bisa menjadi lebih cepat dan mulus.