Oleh: Afriantoni, (Pemerhati Pendidikan)
Pendidikan selalu menjadi topik menarik untuk diperbicangkan, apalagi kalau sudah bicara persoalan kondisi riil pendidikan dasar (SD,SMP,SMA), terlebih setelah mencuatnya kasus Bupati Banyuasin di Sumatera Selatan (Sumsel).
Mirisnya lagi, kasus tersebut merupakan “proyek ijon” atau belum jelas yang melibatkan pengusaha, Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Seksi Pembangunan Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan Dasar. Kasus ini dapat mengeneralisasi apa yang dilakukan oleh Dinas-dinas Pendidikan di Sumsel, yakni kebijakan pendidikan daerah masih berorientasi “proyek semata-mata”, walaupun mungkin antara satu daerah dengan daerah lain memiliki modus yang berbeda.
Jadi,bukan rahasia umum lagi, jika pendidikan menjadi “lahan basah” baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Bahkan pendidikan bisa jadi lahan komoditi politik paling ‘seksi’ dalam pemilihan umum : pilkada/pilpres.
Hal yang juga memprihatinkan, ternyata penerapan sekolah gratis di Sumsel tidak mampu meningkatkan standar pelayanan minimun di tingkat pendidikan dasar. Banyak permasalahan yang belum tersentuh oleh pemerintah. Problem yang muncul antara lain: pembiayaan yang sering terhambat, sarana yang masih kurang, kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan, lemahnya penjamin mutu sekolah, dan kurikulum yang masih gamang.
Pertama, keterlambatan pembiayaan. Sudah bukan rahasia umum lagi jika persoalan penyaluran anggaran pendidikan selalu diiringi dengan kata “terlambat”, baik dana tingkat dasar, menengah, atas dan kuliah gratis yang disalurkan selalu mengalami keterlambatan, dengan alasan-alasan klasik misalnya: adanya kebijakan nasional, pendapatan pajak yang belum terpenuhi, sampai tim penyalur anggaran yang kemudian menyalahkan sekolah tentang akurasi laporan yang belum sempurna. Sehingga, wajar kiranya kepala sekolah tidak lagi terfokus pada pengembangan siswa dan sekolah, malah selalu kesulitan dalam laporan sekolah yang benar. Padahal, jika persoalan pembiayaan langsung dilakukan oleh orang tua siswa, maka fokus sekolah pada pengembangan sekolah. Tentu, persoalan ini menjadi masalah untuk memajukan sekolah.
Kedua, sarana yang kurang standar. Masih ada di daerah-daerah yang jumlah rombongan kelas kurang dari 15 orang, dan belum tersedianya papan tulis, meja, kursi dan kebutuhan primer di dalam kelas lainnya. Untuk tingkat SMP/MTs masih banyak sekolah yang belum memiliki laboratorium, sehingga alam menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan observasi. Belum lagi lapangan sekolah yang tidak memadai. Ruang kelas yang kurang nyaman. Masih lemahnya tata ruang, sehingga kepala sekolah justru merasa tidak betah di sekolah, dan lebih nyaman berada di rumah. Masih banyak lagi lainnya, sehingga belum terjadi pemerataan standar sarana untuk pendidikan dasar.
Ketiga, kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan. Masalah ini sebenarnya warisan dari masa lalu, ketika akan diterapkannya sertifikasi. Belum lagi bicara kualifikasi, guru yang berasal dari staf administrasi sekolah dan bahkan keluarga Bupati atau Kepala desa menjadi tidak memiliki kompetensi untuk mengajar. Baru-baru ini terdapat hasil survei bahwa guru mengajar hanya mengejar jam untuk sertifikasi. Banyak guru yang hanya mengejar tunjangan sertifikasi. Padahal, pelatihan, workshop dan kegiatan lainnya telah dilakukan untuk memenuhi kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan yang patut menjadi perhatian bersama.
Keempat, lemahnya penjaminan mutu sekolah. Penjaminan mutu di sekolah sejauh ini dilakukan oleh pengawas sekolah. Pengawas sekolah yang “money oriented” tentu selalu membuka “pintu masuk” model “suap ala kepala sekolah” yakni suap kecil-kecilan tetapi sangat tidak mendidik. Walaupun saat ini pengawas sudah mendapat tunjangan profesi, tetapi kenyataannya “praktek suap” oleh pengawas ini masih ada di lapangan dan sangat tidak mendidik. Sangat sedikit pengawas yang berorientasi membina sekolah. Seharusnya pengawas melakukan pembinaan yang baik bukan menakuti-nakuti, tetapi mencarikan solusi terbaik untuk meningkatkan mutu sekolah.
Kelima, kurikulum yang gamang. Sampai dengan sekarang praktek Kurikulum 2013 (K-13) masih setengah hati, sehingga orientasi pendidikan dasar masih sangat gamang. Bukan karena akan diterapkan K-13, tetapi belum totalnya penerapan K-13. Bahkan K-13 saat ini masih dalam ujicoba, sehingga tidak menutup kemungkinan akan diganti kembali. Kalau boleh berpendapat, kebijakan kurikulum secara nasional dikembalikan kepada garis-garis besarnya saja, sehingga setiap sekolah dapat menerapkan sekolah sesuai kebutuhan sekolah. Caranya menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah yang beroritenasi pada mutu siswa dan mutu sekolah.
Problem-problem di atas sampai sekarang masih ada dan nyata di sekolah-sekolah. Sehingga seharusnya kebijakan nasional yang mengarah pemerataan mutu sekolah disambut baik oleh Kabupaten/Kota. Kenyataannya justru malah tidak disambut, dengan alasan masih kurangnya biaya. Padahal jika dilakukan secara bertahap tidak ada yang tidak mungkin. Kecuali bicara proyek yang menguntungkan oknum tertentu, maka hal ini tidak dapat dibenarkan.
Kasus yang terjadi di Banyuasin merupakan catatan buram dalam dunia pendidikan di Sumsel, bukan hanya karena “tertangkap tangan” Bupati Banyuasin, tetapi program mencapai senilai 21 Milyar tersebut tidak masuk akal untuk memperbaiki pendidikan di Banyuasin tersebut. Padahal, anggaran pendidikan dapat digunakan untuk pemerataan dana pendidikan.
Untuk itu, perlu ditekankan bahwa tulisan ini bukan untuk mengkritisi seluruh pendidikan dasar di Sumsel. Penulis yakin sudah ada sekolah menerapkan standar layanan minimum pendidikan, tetapi secara umum masih banyak sekolah tingkat satuan pendidikan dasar belum memenuhi standar minimum pendidikan dasar.
Persoalan ini bukan semata-mata disebabkan kebijakan pemerintah, tetapi arah kepala sekolah untuk memajukan sekolah yang terhambat oleh kebijakan di atasnya. Padahal, kreavitas kepala sekolah dapat diharapkan agar dapat meningkatkan mutu sekolah. (*)