Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) masih lama, lebih kurang dua tahun lagi. Namun pergerakan para bakal calon gubernur sudah mulai terlihat. Sayangnya dari sekian calon yang muncul, belum satu pun menunjukkan gregetnya memboyong isu atau program yang bakal mampu mendinginkan hati rakyat.
Kalau menelisik Pilkada 2008 dan 2013, jujur diakui naiknya Alex Noerdin tidak terlepas dari isu yang diboyongnya tentang program “sekolah dan kuliah gratis”, begitu populer dari saat kampanye Alex Noerdin-Eddy Yusuf, hingga berlanjut di tahta ke-2 Alex Noerdin-Ishak Mekki.
Nah, yang menggelitik saat ini, masihkah program tersebut menjadi isu yang dapat meraih simpati masyarakat Sumsel?. Jika ada bakal calon (balon) yang akan mengusungnya kembali. Mau atau tidak mau, semua harus mengakui, kedua program ini menjadi salah satu magnet yang kuat pada saat itu. Sekolah gratis dengan basis pengalaman dari Musi Banyuasin, sangat linier dengan jenjang untuk diperluas ke Provinsi Sumsel. Begitu pula, dari sekolah ke kuliah gratis juga masih sangat populis linier untuk ditingkatkan pada pembiayaan pendidikan untuk masyarakat Sumsel.
Namun kemudian, masihkah program tersebut menjadi isu yang dapat meraih simpati masyarakat Sumsel?. Jujur saja kedua program ini salah satu magnet yang kuat pada saat itu. Sekolah gratis dengan basis pengalaman dari Musi Banyuasin, sangat linier dengan jenjang untuk diperluas ke Provinsi Sumsel. Begitu pula, dari sekolah ke kuliah gratis juga sangat linier untuk ditingkatkan pembiayaan pendidikan untuk masyarakat Sumsel.
Terlebih lagi masyarakat Sumsel dan banyak kalangan mengangggap program ini sukses diterapkan di Sumsel. Salah satu indikatornya, Pemprov Sumsel berhasil menaikkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan masyarakat miskin merasa terbantu dengan adanya program ini. Penerapan “sekolah gratis” dikatakan berhasil, jika meningkat sampai 100 persen. Penilaian ini bukan semata-mata pengakuan dari Pemperov sumsel, tetapi pemerintah pusat, hasil kajian UI dan sebagainya. Meningkatnya kunjungan studi banding ke Sumsel banyak dilakoni oleh pemerintah daerah di luar Sumsel meningkat tajam. Perda tentang sekolah gratis membuka mata daerah lain.
Selanjutnya, pemerintah Sumsel yang telah mendulang sukses dengan program tersebut ingin melanjutkan kesukesannya ke jenjang yang lebih tinggi yakni “perkuliahan”. Maka, wajar kemudian tahun 2015 program “kuliah gratis” akan diterapkan di Sumsel tercinta ini. Walaupun pada kenyataannya IPM Sumsel berada pada urut ke-23 secara nasional, tentu perlu pengkajian mendalam korelasi antara program dengan IPM Sumsel ini.
Ragam Masalah
Sejauh ini ada masalah yang cukup krusial di lapangan terkait sekolah gratis. Pertama, faktanya anggaran sekolah gratis saat ini sudah “kurang manusiawi” baik dana sharing dengan kabupaten/kota ataupun provinsi. Tetapi, namanya program maka harus dijalankan oleh pihak sekolah.
Selain itu terjadi ambigu antara “memungut” dan “tidak memungut”, padahal jelas dalam Peraturan Gubernur Sumsel tentang Pedoman Penyelenggaaan Sekolah Gratis pada Nomor 22 Tahun 2014 pada pasal 10 ayat (1) menyebutkan “Sekolah dapat menerima sumbangan dari masyarakat dan orang tua/wali siswa yang mampu untuk memenuhi kekurangan biaya yang diperlukan oleh sekolah”. Pasal ini mengandung makna”sekolah boleh memungut dana” untuk kekurangan sekolah kepada orang tua/wali siswa yang mampu dan pasal ini belum banyak diketahui dan tidak dipahami oleh kepala sekolah. Pasal ini tidak ada penjelasan yang lebih lanjut mengenai penggunaannya baik materi maupun immateril, karena imej sekolah gratis berdasarkan statemen gubernur tentang sekolah gratis sebenarnya mengalami pergeseran dan sudah mulai bias.
Kedua, komite sekolah tidak juga memahami pasal tersebut, sehingga takut untuk menerjemahkan dan melaksanakan pasal tersebut. Imej sekolah gratis masih banyak dipolitisasi oleh pejabat pemangku kepentingan, sehingga imej gratis masih melekat dan pemerintah tidak berani menjelaskan secara “vulgar” yang pada kenyataannya boleh saja setiap sekolah untuk melakukan pungutan sekolah. Namun, atas nama reputasi gubernur, maka saluran informasi tentang pasal ini dipolitisasi dan terputus agar tidak meluas pada makna sekolah gratis yang selama ini sudah sukses di benak masyarakat.
Ketiga, masih lambatnya proses penyaluruan dana bantuan pemerintah untuk biaya operasional sekolah, yang secara rutin hampir tiga bulan sekali juga menjadi hambatan yang cukup signifikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di lapangan.
Dari fakta di atas, maka terdapat ketidaksesuaian dengan yang diharapkan sekolah gratis merupakan masalah yang kompleks. Dana yang diberikan pemerintah ternyata tidak mencukupi untuk membiayai seluruh komponen kebutuhan sekolah sehingga diperlukan orang tua siswa untuk mendukung pelaksanaannya.
Oleh karena itu, hanya orang tua yang mampu dapat memperoleh sekolah dengan mutu pendidikan yang baik. Meskipun dana sekolah gratis mengurangi beban orang tua siswa, namun tetap saja untuk sebagian masyarakat miskin tidak bisa melanjutkan sekolah. Karena jangankan untuk sekolah, untuk biaya kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup.
Disisi lain, keberadaan sekolah unggulan dan sekolah swasta terus meningkat menolak sekolah gratis, sehingga menciptakan masalah dana yang besar di beberapa sekolah. Sesungguhnya, semakin baik mutu sekolah semakin baik atau besar dana yang dibutuhkan.
Sekali lagi bahwa dana sekolah gratis dari pemerintah tidak mencukupi untuk mendukung keterlaksanaan kegiatan di sekolah terutama pada sekolah unggulan. Ditambah lagi dengan bergulirnya dana sekolah gratis membuat beban sekolah makin tinggi, kepala dan bendahara sekolah harus membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana, harus selalu siap menerima kedatangan petugas monitoring dan evaluasi baik monev internal maupun eksternal, belum lagi kewajiban seorang guru adalah mengajar.
Kepala sekolah dan guru merasa kurang motivasi melakukan terobosan kegiatan ekstrakulilkuler yang menyedot dana besar sekalipun kegiatan tersebut sangat diminati anak, juga bisa menjadi sarana promosi sekolah, kegiatan lain seperti peningkatan mutu sekolah juga terhambat karena terbentur dengan pertanggung jawaban biaya pendidikan yang hanya dibebankan pada kucuran dana dari pemerintah semata.
Singkatnya, sekolah gratis “mandul”, jika hanya menyalurkan dana pemerintah dan membatasi kreativitas sekolah dan kepala sekolah tidak bisa berinovasi, bantuan tidak cukup, Padahal, sekolah boleh berinovasi untuk meningkatkan diri sesuai dengan budaya sekolah, dan dukungan masyarakat.
Keterbatasan sekolah gratis yang belum usai, kini harus ditambah beban terkait kuliah gratis. Mutu perguruan tinggi banyak indikator yang harus dipenuhi, mulai dari.. disampaikan jangan sampai ide “kuliah gratis” bukan semata-mata melanjutkan pemerataan pendidikan setelah pembiayaan “sekolah gratis” diterapkan di seluruh kabupaten/kota Se-Sumatera Selatan. Jangan sampai juga “kuliah gratis” merupakan “ide spontan” yang melahirkan implementasi yang instan dan menjadi “bumerang” bagi pembangunan Sumsel yang seimbang dan berkelanjutan.
Padahal hal yang mendesak bagi sekolah maupun pendidikan tinggi adalah minimnya kualitas mutu dan pelayanan pendidikan yang tidak merata dan menyeluruh. Beberapa lembaga pendidikan memang terkena dampak tersebut. Seharusnya orientasi ke depan keseluruhan lembaga pendidikan dapat mengutamakan mutu, kualitas SDM, kebersihan, kenyamanan, profesionalisme, budaya sekolah, dan sebagainya.
Mencari Isu Baru
Pada sisi yang berbeda, mulai memanasnya suhu politik di Sumsel ini karena Alex Noerdin tidak mencalonkan lagi karena sudah dua periode, sehingga memberikan kesempatan kepada siapa pun. Apalagi, melihat situasi politik saat ini sangat jauh berbeda dengan tahun sebelumnya 2008 dan 2013.
Alex dianggap berhasil bidang pendidikan, kesehatan, dan penyediaan lapangan kerja. Sumsel Gemilang adalah konsep yang diwujudkan Provinsi Sumsel di mana di dalamnya rakyat hidup sehat, cerdas, dan sejahtera. Hal ini disebabkan kuatnya persepsi publik yang ditanamkan oleh Alex dalam menjalankan pemerintahannya. Publikasi kemajuan-kemajuan yang dicapainya selalu menjadi isu yang dapat membuat masyarakat “hidup dalam buaian”.
Kondisi ini patut menjadi catatan penting bagi siapapun yang bakal maju di kancah perpolitikan Sumsel 1 tahun 2018 mendatang. Terlebih suhu politik kedepan diprediksi makin panas, lantaran orang nomor satu di Sumsel saat ini Alex Noerdin tidak bisa mencalonkan lagi karena sudah dua periode menjabat. Atmosfer ini memberikan ruang kepada calon-calon pendekar baru Sumsel untuk muncul, siapapun itu.
Situasi politik saat ini jauh berbeda dengan tahun sebelumnya 2008 dan 2013. Alex dianggap berhasil bidang pendidikan, kesehatan, dan penyediaan lapangan kerja. Sumsel Gemilang adalah konsep yang diwujudkan Provinsi Sumsel dimana di dalamnya rakyat hidup sehat, cerdas, dan sejahtera. Hal ini disebabkan kuatnya persepsi publik yang ditanamkan oleh Alex dalam menjalankan pemerintahannya. Publikasi kemajuan-kemajuan yang dicapainya selalu menjadi isu yang dapat membuat masyarakat “hidup dalam buaian”.
Baik posisi incumbet (wakil gubernur sekarang) maupun pendatang baru, nampaknya masih kesulitan menemukan isu yang cocok pada situasi saat ini. Sepanjang perjalanan baleho dan spanduk yang terbentang, baru sekedar muncul jargon “lanjutkan”. Begitupun jargon-jargon yang muncul du dunia maya media sosial dan publiksi lainnya.
Hal ini jelas sekali bahwa saat ini para balon gubernur yang sudah memproklamirkan diri pun belum bisa menemukan isu dan program yang benar-benar diinginkan, semuanya masih biasa-biasa saja. Padahal, sebenarnya, isu dan program menjadi penentu kemenangan.
Keberhasilan Alex melalui “Program Sekolah dan Kuliah Gratis, Pembangunan LRT, hingga pelaksanaan Asian Games 2018 dan siap mendatangkan 68 Trilun ke Sumsel sudah terbenak dalam dirinya sebagai individu, tokoh dan kekuatan politiknya. Terdapat hegemoni yang luar biasa yang dilakukan selama 4 tahun belakangan, sehingga bisa disimpulkan “Siapa pun yang diminta dan berani mendukung dan didukung oleh Alex, maka dia akan memperoleh apa yang diinginkannya”.
Dampak berikutnya, situasi ini telah membuka peluang bagi Bupati/Walikota potensial siap untuk menangkap re-gerenasi tersebut, sehingga pertarungan menjadi lebih kompetitif. Munculnya tokoh-tokoh muda baru yang cukup diperhitungkan, walaupun banyak juga bakal calon yang merupakan tokoh berpengaruh. Hal ini sangat nampak pergerakan dan upaya-upaya kampanye calon gubernur sudah mulai berlangsung misalnya melalui facebook, website, baleho, spanduk, iklan media elektronik dan media cetak serta masih banyak lagi lainnya.
Sehingga konstalasi nasional juga akan mempengaruhi situasi politik Sumsel pada 2018 nanti. Keadaan tokoh-tokoh partai yang berubah pasca Pilpres 2014 menyebabkan perubahan situasi politik di Sumsel sehingga perubahan politik nasional dan lokal akan sangat berdampak secara lokal.
Oleh karena itu, dapat dikatakan untuk sementara waktu bahwa Alex akan membuat kejutan dan membangun kekuatan politik baru untuk tetap mempertahankan diri di panggung politik Sumsel.
Melihat situasi ini, para calon kandidat tidak akan secara terang-terangan untuk membawa isu sekolah dan kuliah gratis sebagai isu populer untuk dijual kepada publik yang sempat menarik simpati masyarakat Sumsel.
Mengapa bisa demikian? Saat ini isu ini sangat sensitif dengan kebutuhan masyarakat sehingga jika isu ini diusik, misalnya dihapuskan atau ditiadakan, tentu akan berdampak kepada calon. Maka jalan yang aman adalah lanjutkan Sumsel Gemilang. Tetapi, para calon yang mengangkat isu lanjutkan ini, justru dianggap tidak kreatif dan inovatif, yang justru membuat publik merasa jenuh. Masyarakat sedang menunggu kontrubusi para calon untuk membuat Sumsel lebih baik lagi.
Memang ada alternatif isu lain, misalnya meningkatkan pemerataan mutu pendidikan. Tetapi, isu ini sebenarnya tidak populer kalau tidak diiringi sebuah gagasan besar dan rencana taktis yang dapat diimplementasikan. Karena persoalan mutu itu sangat kompleks mulai dari pendidik, tenaga kependidikan, manajemen kepala sekolah, peran komite sekolah, dan sarana pra sarana.
Muncul pertanyaan lain, dapatkah para calon mengemas program sekolah dan kuliah gratis menjadi lebih menarik dan jangan sampai menjadi beban dalam anggaran APBD. Menurunnya IPM Sumsel saat ini urutan ke-23 secara nasional dapatkah disalahkan karena kita menerapkan sekolah dan kuliah gratis. Oleh sebab itu, para calon kedepan harus memiliki kemampuan untuk mengambil langkah-langkah cepat dan antisipatif lebih lanjut terkait penerapannya di lapangan.
Dengan memperhatikan berbagai aspek di atas, sebenarnya isu sekolah dan kuliah gratis masih dapat menjadi isu populer, strategis dan menyentuh hati masyatakat, tentu dengan catatan mampu memperhatikan permasalahan-permasalahan yang diungkapkan di atas.
Dengan mengambil salah satu simpul dari permasalahan yang ada, terkait pelaksanaan sekolah dan kuliah gratis, maka daya tarik dan daya pikat calon kandidat dapat diperhitungkan di Sumsel ini. Selain itu, isu-isu yang ada, juga dapat dipertimbangkan sebagai prioritas program terkait kemiskinan, gizi buruk, pengangguran, pembangunan intrastruktur dasar, kebudayaan, teknologi, daerah aliran sungai, dan penguatan ekonomi lokal yang bisa tetap diperhatikan dan diutamakan.
Oleh: Afriantoni – (Pemerharti Pendidikan)