Tabloid-DESA – Pemerintah menyadari bahwa listrik menjadi infrastruktur dasar terpenting guna mengeluarkan masyarakat dari jurang kemiskinan. Ada sejumlah faktor yang mendasari itu.
Pertama, menurut laporan Global Energy Assessment 2012, elektrifikasi bisa mendorong terciptanya ketersediaan pangan dan lapangan kerja. Kemudian, perbaikan akses sanitasi, air besih, layanan kesehatan, dan kualitas pendidikan. Lalu, pengurangan kesenjangan antargender.
Kedua, kebanyakan negara miskin, terutama Afrika dan Asia Tengah, memiliki rasio elektrifikasi rendah atau hanya sedikit penduduk yang menikmati listrik. Ini didasarkan pada analisis International Energy Agency terhadap statistik pendapatan berasal dari indikator pembangunan Bank Dunia.
Ketiga, rasio elektrifikasi di Indonesia masih relatif rendah di Asean, sekitar sekitar 89,8 persen per September 2016. Artinya, sebanyak 10,2 persen daerah di Tanah Air belum menikmati listrik. Itu mencakup6,8 juta kepala keluarga.
Atas dasar itu, pemerintah menelurkan Program Indonesia Terang (PIT). Yaitu, terobosan terkini guna memberikan akses listrik kepada ribuan desa di pelosok Indonesia. Ini sejalan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa.
Sebelumnya, pemerintah sudah menggulirkan program listrik pedesaan yang mengandalkan pendanaan APBN dan megaproyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
“Ada banyak daerah di Indonesia, yang belum dapat listrik cukup. Ada yang hanya dapat 6 jam, 8 jam, 12 jam, bahkan nggak dapat sama sekali selama 24 jam,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana, saat diwawancara, pekan lalu.
Tercatat, sebanyak 12.659 desa belum optimal tersentuh jaringan setrum PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahkan, sebanyak 2.519 desa diantaranya saat ini masih gelap gulita.
Pemerintah menargetkan mampu melistriki sebanyak 10.300 desa dalam empat tahun mendatang. Dengan demikian, rasio elektrifikasi di Tanah Air bisa menyentuh 97 persen pada 2019.
Sebanyak 6.689 dari 10.300 desa yang akan dilistriki terletak di Indonesia Timur. Perinciannya, Papua sebanyak 4.047 desa, Papua Barat 1.124 desa, Nusa Tenggara Timur 646 desa. Kemudian, Maluku 646 desa, Maluku Utara 411 desa, dan Nusa Tenggara Barat 27 desa.
“Fokus sementara menerangi 2.500 desa,” kata Rida.
“Program ini sebenarnya sudah dijalankan oleh PLN. Tapi dengan kekuatan PLN saat ini dan tantangan yang tersebar, Apalagi 80 persennya terletak di Papua dan Papua Barat, sepertinya program ini harus diakselerasi.”
Makanya, menurut Rida, pihaknya bakal segera mengeluarkan peraturan menteri ESDM yang mengizinkan swasta atau institusi di luar PLN membangun pembangkit dan jaringan listrik.
Kemudian, menjual listrik secara langsung kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil.
“Jadi, kasarnya, keroyokan begitu,” katanya. “Sehingga saudara-saudara kita segera menikmati listrik selambatnya 2019.”
Dunia usaha pun menyambut baik. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berharap bisa terlibat penuh dalam proyek listrik di lebih dari 12 ribu desa di Tanah Air.
Megaproyek itu diperkirakan membutuhkan investasi sekitar USD 8 miliar. Asumsinya, setiap desa dihuni rata-rata 500-600 kepala keluarga membutuhkan listrik sebesar 300 kilowatt.
“Jadi, kebutuhannya USD 8 miliar, apabila kami diminta melistriki 12 ribu desa.” kata Jaya Wahono, pengurus Kadin bidang energi baru terbarukan dan lingkungan hidup, saat ditemui terpisah.
Jaya memastikan kebutuhan dana sebesar itu bisa diperoleh dari dunia internasional. Semisal, dana hibah untuk mitigasi perubahan iklim dari negara maju yang diprediksi bisa terkumpul hingga sebesar USD 100 miliar per tahun.
Bagaimana Indonesia bisa mengakses pendanaan tersebut? Ada dua syarat.
“Proyek yang digarap dapat menurunkan gas rumah kaca dan meningkatkan ekonomi masyarakat,” katanya. “Jadi itu persyaratan yang harus kita penuhi agar bisa mengakses dana tersebut.” Demikian seperti dikutip merdeka.com.