Tabloid-DESA.com, PALEMBANG – Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia (RI) menggelar araca bertajuk Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran di Sumatera Selatan dengan menggandeng sejumlah siswa-siswi dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5 Palembang prodi Produksi dan Siaran Program Televisi (PSPT) dan siswa-siswi SMK Negeri 1 Palembang di Ball room Hotel Aston Palembang, Rabu (22/2).
Sebagai nara sumber Ketua Komisi II Bidang Pemantauan Hukum LSF RI, Mayjen TNI AD (Purn). Dr. H. Ahmad Yani Basuki, M.Si., Dr. Fetrimen sebagai Ketua Sub Komisi Pemantauan LSF RI, dan Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Palembang, Drs. Zulfikri, M.Pd.
Dipilihnya siswa-siswi SMK Negeri 5 dan guru pembimbing sebagai peserta bukan tanpa alasan, karena sekolah ini mengajarkan bidang studi/prodi PSPT yang ada kaitan erat dengan sosialisasi literasi dan edukasi bidang perfilman dan penyensoran.
Sebagai penyelenggara, LSF berharap output dari kegiatan ini adalah tersosialisasikan produk-produk hukum terkait dengan penyensoran film, terutama dalam penetapan kelayakan serta klasifikasi usia penonton. Penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film pada masyarakat. Dan adanya literasi hukum sebagai pedoman yang baik bagi sineas dalam membuat film yang selaras dengan peraturan hukum yang berlaku.
Dalam sambutannya, Kepala Sekolah SMKN 5 Palembang, Zulkarnain, M.Pd menyampaikan selamat datang kepada seluruh nara sumber.
“Sebagai tokoh pendidikan, kami guru-guru ini bukan orang-orang hebat, tapi kami sudah melahirkan orang-orang hebat,” ungkap Zulkarnain disambut tepuk tangan para hadirin.
Menurutnya, kegiatan ini untuk menambah wawasan, maka dipilih-lah siswa-siswi dari jurusan PSPT untuk mengikuti kegiatan ini.
“Buat bu, film-film pendek yang isinya tentang legenda Sumatera Selatan, apakah dianimasikan, karena kita juga ada prodi animasi, yang setelah kita produksi coba kita tawarkan, apakah melalui dinas pariwisata, sehingga prodi kita memang dikenal,” harap Zulkarnain menantang guru dan anak-anak prodi PSPT.
Sebagai informasi, di Sumsel baru hanya ada 2 prodi PSPT, yaitu di SMK Negeri 5 Palembang dan di Inderalaya baru buka.
Dengan adanya kegiatan ini, Zul berharap, ilmu semakin bertambah untuk anak didiknya, “Sehingga pada saatnya anda keluar dari sekolah anda sudah mampu menampilkan kehebatan-kehebatan anda semua,” harap Zul sebagai kepala sekolah.
Sementara sambutan Wakil Ketua LSF RI, Dr. Ervan Ismail menyinggung generasi Z yang jumlahnya di Indonesia mencapai 60 persen. Sebagai generasi produktif, “Kita sampai tahun 2045 menjadi bangsa yang produktif, sementara negara lain mengalami degradasi karena didominasi oleh penduduk usia tua atau generasi kolonial,” ungkap Ervan.
“Alhamdulilahnya, kita punya generasi yang dibekali oleh ibu dan bapak guru dengan kemampuan-kemampuan membuat kreativitas dan produktifitas,” tambah pria kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan ini.
Selain potensi, kita adalah pasar yang sangat besar dari produksi konten luar negeri.
Dari berbagai negara, film-film masuk ke Indonesia. “Kita ini dipenuhi film-film dari berbagai negara, di LSF kita menyensor film-film yang datang dari dari Amerika Hollywood, Eropa, Inggris, Indona, Korea, dll,”
Penetrasi budaya sudah masuk dalam aspek kehidupan kita. Disamping ada peluang, ada tantangan. Kita juga berharap ada kesiapan kita dalam menghadapi arus hiburan dan informasi yang sulit dibendung.
“Oleh karena itu Lembaga Sensor Film berharap bisa bertemu, bisa hadir, bisa berdialog langsung, bertatap muka, berdiskusi secara terbuka, agar kita mampu memahami disamping ada peluang tentu ada tantangan,” ungkap Dr. Ervan Ismail yang pernah menjabat Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia DKI Jakarta dua periode (2011-2014 dan 2014-2017) ini.
Kebebasan dan Tanggungjawab
Karena film memiliki fungsi budaya, ekonomi, pendidikan, karya kreatif, hiburan dan informasi. Ketika seseorang melihat film. Film itu harus dilihat secara utuh. Mulai dari temanya, gambar, adegan, suara, bahasa cerita panjangnya, dan tentu endingnya.
Film itu tentu layak ditonton kalau ada nilai edukasinya. Film itu layak untuk siapa itu ada ketentuannya untuk umur berapa. Di LSF, ada 4 (empat) klasifikasi usia, yaitu untuk semua umur (SU), 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, dan 21 tahun ke atas.
Untuk memberikan perlindungan terhadap dampak negative yang timbul dari peredaran dan pertunjukkan sebuah film dan iklan film yang sensitive dan tidak sesuai dengan asas, tujuan dan fungsi perfilman. LSF akan melakukan sensor sesuai mekanisme yang berlaku.
LSF mengedepankan dialog tatkala LSF menilai, meneliti, dan menetapkan sebuah film layak ditonton. “Dialog itu ada dua macam, kita undang pembuat film karena ada hal-hal yang perlu didialogkan, atau mereka meminta dialog. Dialog ini biasanya dilakukan saat diperlukan pertimbangan-pertimbangan terhadap sebuah film. Film itu ada yang langsung kita putuskan lulus sensor, ada juga yang perlu kita dialogkan karena perlunya revisi. Dialog dilakukan supaya ada kesamaan pemahaman. Bila semua filmmaker mendalami PP dan UU dan memahami batasan-batasan dan menerapkan aturan yang ada, penonton bisa merasa terlindungi,” jelas Fetrimen menjawab pertanyaan peserta.
“Film itu memiliki nilai strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena film sebagai karya seni budaya tentu mempunyai peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa sebagai salah satu unsur penting dalam ketahanan nasional. Sementara kita tahu juga bahwa di dalam film itu ada kemungkinan-kemungkinan muatan intervensi budaya yang bisa merusak ketahanan budaya yang ada. Oleh karena itu, kalau kita ngomong sebuah film yang berkaitan dengan ketahanan budaya, maka dalam lingkup yang lebih luas berkaitan erat dengan ketahanan nasional juga. Disisi lain, kita juga melihat film sebagai media komunikasi massa memiliki fungsi strategis dalam pembentukan karakter bangsa, kesejahteraan masyarakat, serta pembentukan ahlak mulia. Oleh karena itu, terlepas dari latar belakang saya apapun, persoalan-persoalan itu adalah persoalan bangsa juga dan persoalan pertahanan bangsa yang fokusnya adalah pertahanan budaya,” terang Mayjen TNI (Purn) Dr. H. Ahmad Yani Basuki, M.Si seperti dikutip Broadcastmagz, Juli 2019.
Paradigma baru ini pula yang mendorong LSF untuk terus melakukan sosialisasi sensor mandiri. “Kalau kami hanya duduk dan memutuskan (kelulusan) film yang dikirim ke sini tidak memaksimalkan tugas. Kami mensosialisasikan budaya sensor mandiri. Budaya sensor mandiri itu upaya membangun masyarakat yang cerdas dalam memilah dan memilih tontonan yang tepat. Semua bentuk sosialisasi kita gunakan, workshop, kuliah umum. Kami bekerja sama dengan instansi terkait,” ungkapnya.
Sosialisasi ini sebagai salah satu upaya semakin mendekatkan persepsi yang kerapkali berbeda antara LSF, pembuat film, dan masyarakat terhadap sebuah film. Khususnya, film-film yang sudah dinyatakan lulus sensor. *