Tabloid-DESA.com BOGOR – Harga pokok penjualan (HPP) gabah tidak masuk akal dan merugikan petani. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kenaikan HPP sebesar 12 persen tak sebanding dengan inflasi pada 2017 yang mencapai 2,8 persen.
Dwi menyampaikan itu dalam forum bertajuk ‘Membedah Tata Kelola Produksi Pangan Indonesia’ di IPB International Convention Center (IICC) Ballroom Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin, 26 Februari 2018. Dwi mengakui HPP menjadi acuan petani untuk menjual gabah.
“Jadi HPP harus bisa menjaga harga gabah. Kami sepakat mengusulkan HPP gabah dinaikkan menjadi Rp4.300 per kilogram,” ujar Dwi.
Dwi mengatakan ketidaksesuaian HPP akan menjadi masalah besar dan serius bagi pemerintah. Menurutnya, tujuan pemerintah menerapkan HPP untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
“Namun kenyataannya di lapangan berbeda, kami masih menemukan pembelian gabah hasil produksi di tingkat petani tetap mengacu pada HPP sebesar Rp3.700 per kilogram. Harga ini sangat rendah bagi petani,” bebernya.
Andreas juga menegaskan, pemerintah segera menaikkan HPP sebelum puncak masa panen yang diperkirakan terjadi pada April 2018. Nantinya, saat hasil produksi melimpah membuat harga pembelian gabah terancam anjlok.
“Saya harap pemerintah segera menaikkan HPP gabah, guna melindungi petani dari kerugian yang lebih parah saat masa panen tiba,” paparnya.
Masih kata Andreas, pihaknya juga mendesak peran Badan Urusan Logistik (Bulog) diperkuat untuk menyerap hasil produksi petani. Bulog bisa bergerak lebih baik bila dilengkapi dengan instrumen HPP yang rasional.
Dirinya menganggap, Bulog kurang optimal menyerap gabah dari para petani selama 2017 lalu. Menurut hasil kajiannya di 26 daerah, biaya produksi pertanian padi hingga Januari 2018 mencapai Rp4.200 per kilogram.
“Karena itu yang kami usulkan HPP minimal di Rp4.300 per kilogram gabah kering panen. Ini untuk menyejahterakan petani Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bastanul Arifin menyatakan, HPP gabah saat ini, sebesar Rp3.700 masih terlalu rendah bagi petani. Nilai HPP yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 itu, harusnya sudah direvisi mengikuti perkembangan nilai inflasi dan sebagainya.
Selain masalah HPP gabah, sambung Bastanul, pihaknya terus menyoroti pendataan hasil produksi pertanian yang belum jelas dari sejumlah instansi pemerintah terkait.
Dirinya menyatakan, belum adanya kepastian dari Kementan dan BPS terkait adanya perbedaan data membuat semua pihak mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan harga resmi beras oleh BPS.
“Sebenarnya harga beras, gabah dan lainya secara resmi dikeluarkan oleh BPS yang menjadi acuan petani di Indonesia. Kami terus mendorong pemerintah segera menetapkan harga tersebut, kemungkinan data pertanian dan pangan nasional baru akan diumumkan pemerintah pada Agustus 2018,” ungkap Dwi.