Industri Sawit Belum Lepas Dari Isu Lingkungan

Sejumlah truk bermuatan kelapa sawit antre di depan salah satu pabrik pengolahan di Masihi, Asahan, Sumatra Utara, belum lama ini. Pemerintah mendorong pertumbuhan sektor derivatif yang bernilai tambah dalam industri kelapa sawit nasional, sebagai salah satu upaya menjadikan industri tersebut berkelanjutan. Kelapa sawit merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi Indonesia. Kontribusi sektor tersebut kepada ekspor non migas Indonesia mencapai 12% dari total ekspor non migas.

Tabloid-DESA – Industri kelapa sawit nasional belum lepas dari isu lingkungan sehingga menjadi tantangan tersendiri untuk tetap bertahan sebagai produsen minyak nabati di dunia.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Harry Hartanto di Palembang, Rabu (7/12) pekan lalu, mengatakan saat ini industri sawit masih sering disalahkan atas kerusakan hutan (deforestasi), pembakaran lahan, efek rumah kaca, padahal tuduhan ini tidak pernah terbukti secara ilmiah.

Belum lama ini, bahkan industri sawit dituduh memperkerjakan anak, padahal sudah menjadi kebiasaan petani untuk bekerja membawa anak.

“Inilah yang menjadi tantangan industri sawit ke depan, bukan hanya persoalan peningkatan produksi semata untuk semakin meningkatkan kesejahteraan petani, melainkan juga isu lingkungan,” kata Ketua Gapki Sumsel periode 2016-2019 ini seusai pelantikan para pengurusnya.

Saat ini luas perkebunan sawit di Sumsel berdasarkan data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian mencapai 1,1 juta hektare dengan 45 persen dikuasai oleh perusahaan swasta, sebanyak 5 persen oleh BUMN dan sisanya menjadi milik rakyat, baik melalui sistem kemitraan maupun swadaya.

Perlu dicermati juga data dari citra satelit yang terbaru dari sebuah perusahaan terkemuka yang menyatakan bahwa luas perkebunan sawit di Sumsel mencapai 1,319 juta hektare dengan komposisi sebesar 45 persen menjadi milik perusahaan, sebanyak 3,8 persen milik BUMN, dan sisanya milik menjadi milik masyarakat.

Dari data citra satelit, justru lahan milik masyarakat yang luasannya bertambah, bukan milik perusahaan.

“Ini artinya masyarakat menyadari bahwa menanam sawit itu menguntungkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan, berbeda dengan karet yang harganya terus tergerus,” kata dia.

Gapki Sumsel dengan anggota 50 perusahaan ini juga mengapresiasi langkah maju Pemerintah Provinsi Sumsel dalam mendongkrak industri ini terkait isu lingkungan dengan membuat kajian lanskap untuk Taman Nasional Sembilang dan Tanam Nasional Dangku dalam konsep Pertumbuhan Hijau.

Selain itu, juga menggelar pelatihan pencegahan kebakaran hutan yang melibatkan 120 orang asisten kebun.

Ketua Dewan Kehormatan Gapki Sumsel Sumarjono menambahkan jika semua pihak saling bersinergi maka industri sawit Sumsel dapat mencapai produksi lebih baik lagi. Saat ini Sumsel menyumbang 10 persen dari total produksi nasional sebesar 32 juta ton.

“Yang saya ingatkan yakni agar pemerintah segera mencairkan dana sawit yang dikelolah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit karena hampir 4.000 hektare lahan petani rakyat belum diremajakan. Jika tidak maka produksi akan terus tergerus,” kata Sumarjono.

Ia mengatakan, saat ini sudah terkumpul sebanyak Rp6 triliun yang baru sebatas direalisasikan pada sektor biodiesel lantaran ada kerja sama pemerintah dengan Pertamina.

Sementara bagi rakyat untuk menyerapkan kerap terganjal persoalan legalitas lahan, sehingga realisasi Rp25 juta per hektare untuk peremajaan hingga kini belum terserap optimal.

“Harusnya pemerintah memiliki suatu mekanisme tersendiri untuk persoalan legalitas ini, karena petani kerap berpikir tidak perlu balik nama kepemilikan yang penting memegang sertifikat tanah,” mata pengusaha asal Sumsel ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *