Harapan Mengatasi Konflik Lahan di Sumsel

Nawacita Reforma Agraria


KONFLIKw

Reformasi agraria menjadi agenda utama pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan berbagai konflik lahan di Indonesia. Sebuah program yang memberi harapan baru dan angin segar kepada jutaan petani yang kehilangan lahan mereka karena direnggut oleh kebijakan penguasa, serta asa baru pada petani miskin untuk memiliki lahan demi kehidupan mereka.

Kantor Staff Presiden (KSP) dan Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (HAM) menjadi lembaga utama yang diharapkan mampu mengaplikasikan proses penyelesaian konflik lahan tersebut. Dibawah payung presiden secara langsung, diharapkan konflik lahan antara perusahaan milik negara atau BUMN versus petani dapat menjadi prioritas penyelesaian yang berkeadilan hingga tercipta kesejahteraan bagi masyarakat.

 Yang Tak Kunjung Usai

Pekan lalu, kurang dari 20 orang warga Kabupaten ogan Ilir, mendatangi fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Provinsi Sumatera Selatan. Wajah para petani itu terlihat kurang begitu bersemangat, meski berpakaian cukup rapi, namun garis wajah mereka menampakkan sebuah semangat yang terasa nyaris patah.

Para petani itu berasal dari 20 desa di enam kecamatan Kabupaten Ogan Ilir. Mereka tergabung dalam organisasi Gerakan Petani Penesak Bersatu atau  GPPB. “Kami ini warga Penesak. Penesak itu marga di Ogan Ilir,”kata Muhammad Muis, 62, salah seorang tokoh masyarakat setempat.

Mereka sengaja hadir di fraksi PAN, untuk berjumpa dengan anggota DPRD Sumsel yang juga warga penesak Rusdi Tahar, dan juga secara khusus ingin mengadu ke salah seorang tokoh masyarakat Sumsel, Abdul Aziz Kamis. “Pak Aziz kami dengar berhasil menjadi mediator penyelesaian konflik antara PT SAML dengan warga OKI. Nah, besar harapan kami beliau dapat membantu juga menyelesaikan persoalan lahan kami yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis,”sambung Muis.

Setumpuk fotokopi data dan berkas dipegang oleh humas GPPB, Rusdi Daduk. Lulusan UIN Raden Fatah Palembang itu, mengabdikan dirinya untuk perjuangan masyarakat penesak, yang tanah desanya dirampas oleh pemerintah yang dimulai sejak tahun 1982 yang lalu, ketika itu pemerintah membangun perusahaan perkebunan tebu terbesar di Sumsel PTPN VII Cinta Manis “Jadi kami sengaja mendatangi DPRD, karena konflik lahan dengan PTPN VII tidak juga kunjung usai sejak 2012 lalu,”tegas Rusdi Daduk dihadapan Aziz Kamis dan Tabloid Desa.

Dia menjelaskan, konflik lahan ini sebenarnya dimulai sejak tahun 1982, namun karena takut dengan pemerintah mereka kemudian mendiamkan lahan mereka yang hilang tersebut. Kemudian, pada tahun 2012, jelas Rusdi, masyarakat meminta PTPN VII yang menguasai lahan mereka dikembalikan kepada masyarakat. “Luas lahannya sekitar 21.000 hektare lebih, yang milik masyarakat. Sebab, lahan yang kini dikelola oleh PTPN VII itu tidak memiliki sertifikat HGU,”tegas dia.

“Kelamnya” Masa Lalu warga Penesak

Meski terlihat tegar, Muis sempat terbata kala menceritakan awal mula timbulnya persoalan sengketa lahan antara lahan milik masyarakat setempat, dengan PTPN VII. Muis kala itu berusia sekitar 27 tahun, yakni pada tahun 1982 ketika pertama kali pemerintah berencana akan membangun sebuah perkebunan tebu dan gula, yang saat itu wilayah tersebut masih berada dibawah pemerintahan kabupaten OKI. “Zaman Presiden Soeharto. Kala itu kami mendengar ada rencana akan dibangun kebun tebu,”kata Muis didampingi Rusdi Daduk.

Anggota komisi I DPRD Sumsel, Rusdi Tahar mengatakan,masyarakat setempat sebagian besar bertani padi dan berkebun nanas. Struktur tanah yang cukup keras dan agak kering, terhampar luas meski sebagian lahan terdapat rawa gambut. Tanpa pemberitahuan dan sosialisasi pada masyarakat, pembersihan lahan kemudian dilaksanakan. Alat berat menggusur dan meluluh lantakkan tanaman milik masyarakat yang tumbuh subur, menjadi saksi sejarah nenek moyang keturunan desa-desa mereka. “Tidak ada pemberitahuan, tahu-tahu di bersihkan dan tanaman yang ada semua sudah hilang berganti lahan kosong. Sempat kala itu banyak yang protes, dan mengadu dengan kriyo dan kepala kampung,”kata dia.

Ribuan hektare lahan warga direnggut tanpa ampun, masyarakat kehilangan lahan garapan mereka yang hanya sebagian kecil saja mendapat ganti rugi tanam tumbuh. “Tidak ada yang berani bertindak, sebab pada masa itu intimidasi lebih keras dan mencekam,”jelas dia.

Selama 30 tahun lebih masyarakat menyimpan amarahnya. Tahun 2012, rahasia pendudukan lahan PTPN VII di 20 desa dan enam kecamatan tersebut ternyata hanya sebagian saja memiliki hak guna usaha (HGU). Sebagian besar lahan, khususnya disekitar 21.000 hektare lahan warga setempat yang hingga kini masih dikelola BUMN tersebut sebagian besar belum memiliki HGU. “Jadi mereka telah semena-mena melakukan tindakan pengambil alihan lahan yang memang milik kami.Karena itu, kami berharap kepada para wakil rakyat, pemerintah, dan mereka yang berkuasa dinegeri ini untuk mendesak perusahaan dan negara mengambalikannya,”ujar Tahar.

Aksi Massa 2012 Berdarah

Dendam masa lalu itu kemudian kembali tumpah pada 2012 silam. Munculnya kesadaran itu dimulai setelah ada aksi massa sekitar 500 ratusan warga Desa Rengas Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir menggelar aksi demonstrasi, pada minggu 20 mei 2012 silam disimpang Timbangan 32 Indralaya. Salah satu tuntutan masyarakat yakni mendesak pemerintah membubarkan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, karena keberadaannya tidak banyak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Aksi awal itu serentak dengan gerakan lainnya, yang dilakukan di hampir seluruh wilayah. Bahkan selain demonstrasi terjadi pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga di kebun milik PTPN VII.

Dari data Walhi Sumsel saat itu, ternyata dari 21 ribu hektare lahan yang dikuasai PTPN VII Cinta Manis, hanya sekitar 6.600 hektare yang mengantongi  surat Hak Guna Usaha (HGU) yang berada di Rayon I Desa Burai Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir (OI).  Sementara 15 hektare lagi di Rayon II masih dalam proses HGU, berada di kawasan Desa Payolingkung Kecamatan Lubuk Keliat dan Rayon III Desa Sribandung Kecamatan Tanjung Batu. Bahkan menurut Walhi kala itu, justru hanya 6 ribu hektare lahan PTPN VII saja yang berstatus HGU. “Sebetulnya, hanya 6 ribu hektare itulah lahan yang berhak dikelola Cinta Manis dan selebihnya harus dilepas,” ujar mantan Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat.

Konflik kemudian semakin panas, ribuan orang massa warga yang merasa kehilangan hak lahan mereka terus-menerus dilakukan. Bukan hanya berlangsung di kabupaten OI, juga di pemprov dan DPRD Sumsel, bahkan ribuan orang melakukan aksi ke Jakarta. Hal itu berlangsung secara terus menerus, mulai bulan Mei hingga Agustus 2012 lampau.  Belasan orang ditangkap aparat kepolisian, puluhan orang warga mengalami cidera, satu orang warga cacat tetap kehilangan tangannya, dan satu orang anak tewas kena peluru aparat yang menembus kepalanya. Harga yang harus dibayar mahal oleh masyarakat penesak.

Pemerintah Provinsi Sumsel, Pemerintah OI, DPRD, DPR RI, Komnas HAM, dan Presiden RI yang kala itu dijabat oleh Soesilo Bambang Yudhoyono bahkan dinilai tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Kehendak masyarakat tidak terkabulkan, untuk mendapatkan kembali lahan mereka yang dirampas. Pasca peristiwa tersebut, keadaan menjadi tenang meski mencekam melewati tahun-tahun penuh kebingungan.

Jokowi dan Nawacita Reforma Agraria

Presiden Jokowi telah meminta jajaran Kementerian/Lembaga Pemerintah untuk mempercepat proses dan implementasi reforma agraria, sehingga keadilan bagi masyarakat dalam penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya, dapat segera diwujudkan.

Ketua DPD PDIP Provinsi Sumsel, HM Giri Ramanda N. Kiemas mengungkapkan, secara umum bagaimana mengembalikan orientasi reformasi agraria supaya tidak sekadar bagi-bagi lahan bagi rakyat miskin, tetapi diharapkan menyentuh akar dari ketimpangan struktur sosial ekonomi masyarakat sendiri. “Intinya konflik lahan dapat diselesaikan dengan menggunakan penegakan hukum yang adil dan bijaksana,”kata Giri.

Orientasi paling dasar dari reforma agraria ialah perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Seluruh aspek, mulai dari tanah, air hingga udara harus ditata ulang sesuai dengan semangat kemerdekaan bangsa. Jika dilaksanakan, maka pernyataan Nawacita yang menolak negara lemah, di mana salah satunya berisi adanya jaminan kepastian hukum kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang berasaskan prinsip keadilan, tiadanya kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat, bukan lagi sekadar sebuah pernyataan di atas kertas.

Dikutip dari situs presidenri.go.id, dalam prakteknya, terdapat tiga persoalan pokok untuk melakukan reforma agraria ini. Pertama,  ketimpangan penguasaan tanah negara. Ketimpangan ini terjadi karena proses historis di masa lalu, di mana pelaku kekuatan ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan lahan dalam skala besar, sementara rakyat di kelas bawah makin kehilangan lahan mereka. Indikator yang paling nyata bagaimana ketimpangan ini terjadi adalah penguasaan hutan konsesi seluas 35,8 juta hektar oleh hanya 531 perusahaan pemegang konsesi hutan. Sebaliknya, terdapat lebih kurang 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan karena berada di kawasan hutan. Indikator yang lain adalah lebih dari separuh jumlah petani, yakni sebesar 56%, memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar.

kedua timbulnya konflik-konflik agraria, yang dipicu oleh tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana lahan-lahan negara yang diberi izin untuk dikelola, ternyata tidak seluruhnya merupakan lahan negara yang bebas kepemilikan. Sepanjang periode 2004-2015, tak kurang dari 1.772 konflik agraria terjadi akibat ketidakjelasan status tanah dan tumpang tindihnya peraturan di lapangan. Konflik ini setidak-tidaknya melibatkan sekitar 1,1 juta rakyat, dan luasan yang menjadi pokok konflik mencapai kurang lebih 6,9 juta hektar.

ketiga, timbulnya krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Krisis ini diindikasikan dengan makin terdegradasinya kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan untuk pertanian yang dimiliki oleh para petani, dan makin berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor produksi pertanian, dan lebih banyak bertumpu pada pekerjaan di sektor jasa. Sebanyak 15,5 juta penerima beras untuk rakyat prasejahtera yang tinggal di pedesaan adalah salah satu indikator timbulnya krisis sosial di pedesaan. Sedangkan krisis ekologi di pedesaan salah satunya ditandai oleh keberadaan desa dengan status rawan air di 15.775 desa dan kekeringan di 1.235 desa.

Sepetik Harapan Petani Pada KSP dan Komnas HAM

Dalam proses merumuskan kembali upaya penyelesaian konflik lahan di Ogan Ilir, tokoh masyarakat Sumsel, Abdul Aziz Kamis berpendapat, salah satu upaya yang harus ditempuh yakni mengadukan persoalan tersebut langsung ke kantor staff kepresidenan atau KSP. “Sebab, persoalan antara petani dan PTPN VII kasusnya mengarah pada siapa pemilik perusahaan tersebut. Nah, dalam hal ini PTPN VII Cinta manis adalah BUMN, yang pemiliknya ada negara dalam hal ini presiden RI secara langsung,”kata Aziz.

Menurut dia, langkah kongkret yang harus ditempuh yakni melaporkan hal tersebut secara langsung ke presiden melalui KSP, dan tentunya mediasi melalui lembaga Komnas HAM RI. “Dua lembaga ini sangat penting, karena KSP merupakan lembaga presiden yang khusus menangani berbagai persoalan termasuk konflik agraria,”jelas dia.

Anggota komisi I DPRD Provinsi Sumsel, Rusdi Tahar menegaskan, pihaknya akan melakukan mediasi dengan pemerintah pusat dan provinsi Sumsel. Sebab, kasus tersebut sempat ramai dan berdarah sejak 2012 lalu. “Ini kasus lama, dan zaman Presiden Jokowi yang mendukung progress reforma agraria dengan program nawacitanya, kita harapkan dapat menyelesaikan persoalan ini dengan segera,”kata Rusdi yang juga anggota Fraksi PAN dari dapil OKI-OI.

Proses upaya penyelesaian persoalan tersebut dengan PTPN VII, sudah banyak dilakukan. Tetapi semuanya menemui jalan buntu, yang tidak pernah usai. “Kami yakin dengan program Jokowi ini, akan kami sampaikan nantinya akan ada upaya penyelesaian konflik lahan ini,”kata  Rusdi Tahar.

Para mediator dalam hal ini DPRD Sumsel, bersama gerakan petani penesak bersatu (GPPB), dan para mediator yang terdiri dari Aziz Kemis dan tokoh masyarakat bersepakat untuk meneruskan hal tersebut ke KSP dan Komnas HAM. “Kantor staf kepresidenan atau KSP merupakan realisasi dari program nawacita presiden Jokowi, untuk menyelesaikan persoalan konflik lahan. Dan PTPN VII Cinta Manis merupakan perusahaan milik negara atau BUMN yang penguasanya adalah negara dalam hal ini presiden,”kata dia.

Ketua DPRD Sumsel, HM. Giri Ramanda N. Kiemas menambahkan, meski DPRD tidak bisa menyelesaikan konflik lahan, namun dapat merekomendasikan kepada badan pertanahan nasional (BPN) untuk mencabut status satu lahan dan melakukan kajian mengenai keabsahan lahan tersebut. “Jadi DPRD bisa merekomendasikannya agar ditinjau ulang keabasahan lahan, selanjutnya diserahkan melalui mekanisme hukum yang berlaku,”tambah dia.

Giri menjelaskan, selain itu perlu perbaikan aturan yang berada di level pemerintah daerah, untuk menjamin hak masyarakat dan hak investor. “Ada ketimpangan yang terjadi selama ini, sebab jika tidak dilakukan perbaikan aturan kalau ada pelanggaran ketentuan oleh investor maka tidak akan ada sanksi bagi mereka,”jelas dia.

Konflik lahan yang terjadi, kata Giri, permasalahannya selalu sama yakni tidak jelasnya aturan hukum mengenai keberadaan lahan yang dikelola investor. Meski diakui, pemerintah membutuhkan investor untuk membangun daerah dalam menggerakkan perekonomiannya, namun di sisi lain masyarakat menjadi korban atas pembangunan tersebut. “Akibatnya HGU-HGU yang dikelola tidak benar dan tidak mensejahterakan masyarakat. Harus dipertegas, investor yang jelas merugikan, jangan lagi diperpanjang HGU mereka,”pungkas Giri. (Ronald)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *