Kebijakan Kenaikan Tarif Listrik, BBM, dan Sembako
Tabloid-DESA.com PALEMBANG – Kenaikan tarif dasar listrik, kelangkaan BBM bersubsidi dan kenaikan harga BBM, dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya telah turut serta menaikkan harga sembilan bahan pokok. Masyarakat desa yang kondisi perekonomiannya sangat labil menjadi korban kebijakan tidak populis pemerintah.
Aksi mahasiswa yang protes terhadap kebijakan pemerintah, yang dinilai kian menyengsarakan rakyat dilakukan serentak di seluruh Indonesia pada 12 Januari silam. Aksi massa dengan kode 121 tersebut, juga dilakukan serentak di seluruh kampus di kota Palembang.
Ratusan orang mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Sumsel, menggugat kebijakan pemerintah yang mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 60 tahun 2016 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Mereka mendesak agar pemerintah berlaku adil, dan tidak semena-mena menaikan tarif dasar listrik dan BBM yang memicu kenaikan harga sembako dan harga kebutuhan pokok lainnya.
Para mahasiswa yang merupakan gabungan dari Universitas Sriwijaya, UMP, UIN, dan berbagai organisasi kemahasiswaan lain seperti HMI, IMM, dan KAMMI mendatangi kantor DPRD Sumsel sekitar pukul 12.30 WIB. Mereka datang dengan menggunakan bus, dan sebagian lainnya menggunakan kendaraan bermotor. Para demonstran membawa berbagai spanduk yang isinya protes terhadap kebijakan Jokowi-JK yang menaikan BBM, bahkan berbagai tarif pajak lainnya yang memberatkan. Selain itu, melalui surat keputusan direktur pemasaran PT Pertamina tertanggal 4 Januari 2017, tentang penetapan harga dasar baru BBM jenis umum / non subsidi antara lain PertaminaDex, Pertalite, Dexalite.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan koordinator Aliansi Rahmat Farizal, kenaikan harga BBM non subsidi bertepatan pada kelangkaan BBM jenis premium, karena tidak sedikit masyarakat yang beralih pada BBM nonsubsidi salah satunya pertalite. “Sebab akibat kenaikan tersebut harga kebutuhan hidup lainnya turut naik.” Maka dengan ini, Aliansi Mahasiswa Sumsel Menggugat yang terdiri dari BEM se Sumsel, KAMMI, IMM, dan HMI menyerukan tuntutan mendesak pemerintah mencabut PP nomor 60 tahun 2016 yang berisi penambahan kenaikan tarif PNBP dan tarif dasar listrik,” tegas dia.
Mereka juga mendesak, agar DPRD Sumsel membuat pernyataan penolakan atas kebijakan tersebut. Dan dapat memfasilitasi untuk melakukan pertemuan dengan wakil rakyat yang lainnya di DPR RI. “Kami meminta DPRD Sumsel untuk menyatakan sikap atas penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat. Dan dapat memfasilitasi pertemuan antara massa dengan DPR RI,” kata dia.
Aksi mengutuk keras kado pahit pemerintahan Jokowi-JK pada awal tahun 2017, juga mendapat kecaman dari berbagai steakholder. Efek negatif perekonomian Indonesia yang semakin turun drastis, telah pula menggelitik para politisi dan meminta pemerintah memikirkan kembali kebijakan ekonomi Indonesia. Ketua DPRD Provinsi Sumsel, Giri Ramanda Kiemas mengatakan, secara pribadi dirinya menolak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak prorakyat. PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang penarikan subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan kenaikan tarif dasar listrik telah membuat efek kurang baik pada masyarakat. “Secara pribadi saya menolak, Kami pun atas nama anggota DPRD sepakat dengan apa yang adik-adik perjuangkan,”tegas Giri.
Namun, Giri juga menantang agar para mahasiswa untuk membuat kajian mengenai berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, hingga hal tersebut dapat di sampaikan ke pemerintah pusat. “Data-data itu nantinya akan menjadi bahan kita untuk menyapaikan kepada pemerintah pusat, supaya dalam mengambil kebijakan dilakukan secara transparan dan mementingkan kebutuhan rakyat,” jelas dia.
Senada dikatakan Anggota DPRD Provinsi Sumsel, Syaiful Fadli. Dia menegaskan, kebijakan pemerintah telah membuat “kesengsaraan” rakyat. Kondisi tersebut harusnya disikapi bersama, agar pemerintah kembali meluruskan arah dan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan bukan memaksakan. “Ini yang diinginkan rakyat, bukan memaksa,” kata Syaiful.
Pedasnya Harga Listrik Ditengah Cabai dan Sembako Melambung Tinggi
Kini masyarakat kota dan desa sedang harap harap cemas, lantaran harga cabai merah di pasaran memberikan andil 0,37 persen inflasi Kota Palembang. Padahal pada September 2016 tahun lalu inflasi hanya mencapai 0,24 persen. Kepala Badan Pusat Statistik Sumsel, Yos Rusdiyansyah mengatakan, harga cabai sangat tinggi mencapai Rp60ribu/kilogram. Buah dan sayur juga mengalami kenaikan dan memberi andil inflasi 0,08 persen, minyak goreng 0,07 persen, tempe 0,06 persen, dencis 0,06 persen, rokok kretek 0,05 persen dan susu untuk balita 0,04 persen.
Dia menjelaskan, andil inflasi Kota Palembang bulan September 2016 menurut kelompok pengeluaran yang terbesar menyumbang adalah bahan makanan 0,28 persen dan Kota Lubuklinggau 0,62 persen, disusul makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sumbang 0,008 persen (Palembang) dan 0,12 persen (Lubuklinggau).
Sementara, secara keseluruhan Provinsi Sumatera Selatan bulan September 2016 mengalami inflasi 0,30 persen. Menurut dia, angka inflasi ini diperoleh berdasarkan penghitungan pada Kota Palembang dan Kota Lubuklinggau. Laju inflasi Provinsi Sumsel sampai dengan September 2016 sebesar 0,42 persen dan laju inflasi dari tahun ke tahun (September 2016 terhadap September 2015) adalah 4,38 persen.
Berdasarkan pemantauan harga selama September 2016 pada 82 kota indek harga konsumen (IHK) di Indonesia, menunjukkan 58 kota, IHK mengalami inflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Sibolga sebesar 1,85 persen dan terendah di Kota Perwokerto dan Banyuwangi masing-masing 0,02 persen.
Tarif dasar listrik sejak 1 Januari lalu mengalami kenaikan. Anggota Komisi III DPRD Sumsel Mgs Syaiful Fadli mengatakan kebijakan tersebut belum tepat di tengah situasi ekonomi yang sangat sulit. “Belum pas menaikan tarif listrik saat ini,” kata Syaiful.
Menurutnya saat ini perekonomian masyarakat baru akan mulai membaik. Sehingga harusnya dimasa transisi ini, pemerintah jangan dulu membebankan masyarakat. “Ini kado awal tahun yang tidak bagus untuk masyarakat,”ujar dia.
Kebijakan menaikan tarif listrik harusnya baru dilaksanakan setelah melihat perekonomian semester pertama tahun ini. Jika membaik, maka masyarakat tidak merasa keberatan atas kenaikan tarif listrik. Politisi PKS ini menilai tarif dasar listrik belum pantas dinaikan. Mengingat pelayanan yang diberikan pihak PLN masih kerap dikeluhkan masyarakat. “Di Sumsel, listrik masih sering byarpet (padam) dan ini harus dituntaskan dulu oleh PLN,” tandasnya.
Pemadaman listrik bergilir yang masih terjadi di Sumsel katanya merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pihak PLN. “Kita lumbung energi, tapi sering terjadi pemadaman, masyarakat sering komplain. Kami wakil rakyat sering di SMS keluhan masyarakat,” tuturnya.
Di Kabupten OKI, terhitung mulai Januari 2017 subsidi listrik untuk 6882 pelanggan rumah tangga dengan tegangan 900 VA (R-1 900 VA) dicabut karena harus membayar sesuai tarif normal seperti pelanggan 1.300 VA ke atas. Kepala PT PLN Rayon Kayuagung, Raden Febrian Saktia Putra seperti dilansir beberapa media di Palembang, karena berdasarkan peraturan menteri ESDM No 28 Tahun 2016 untuk dilakukan penyesuaian tariff listrik rumah tangga 900 VA.
Menurutnya, untuk rumah tangga dengan daya 900 VA dibagi menjadi dua golongan tarif yaitu R-1/900 VA yaitu konsumen miskin dan tidak mampu dengan daya 900 VA yang disubsidi, kedua R-1/900 VA-RTM yaitu konsumen rumah tangga mampu dengan daya 900 VA yang tidak disubsidi. “Di Kabupaten OKI ada 14.349 pelanggan yang disubsidi sedangkan yang subsidinya dicabut ada sekitar 6882 pelanggan,”katanya.
Brian menambahkan, Kementerian ESDM sudah menyiapkan skema kenaikan tarif listrik secara bertahap sebanyak 3 kali untuk pelanggan 900 VA. Kenaikan tarif akan terjadi di bulan Januari, Maret, dan Mei 2017, naik sekitar 30% di tiap tahap.
Tarif listrik rumah tangga (R-1) 900 VA yang saat ini Rp 605/kWh akan naik menjadi Rp 791/kWh di Januari 2017. Kemudian pada Maret 2016 tarif naik lagi dari Rp 791/kWh menjadi Rp 1.034/kWh. Lalu di Mei 2017 berubah dari Rp 1.034/kWh menjadi Rp 1.352/kWh. Mulai bulan Juli, tarif listrik 900 VA akan sama dengan 1.300 VA, ikut dalam mekanisme tariff adjustment, naik turun mengikuti fluktuasi Indonesian Crude Price(ICP) dan kurs dolar Amerika Serikat (AS).
Dia menuturkan, harga jual listrik PLN ke pelanggan 900 VA, yang saat ini masih disubsidi, adalah Rp 585/kWh. Sedangkan besaran tarif listrik PLN jika tak disubsidi adalah Rp 1.460/kWh. Artinya, setiap pelanggan listrik 900 VA menerima subsidi Rp 875/kWh. “Ketika subsidi dicabut, maka semua beban menjadi tanggungan pelanggan, perlakuan tariff ini berlaku untuk semua pelanggan baik prabayar ataupun pasca bayar,” jelasnya.
Kemana BBM Premium Bersubsidi?
BBM jenis premium ternyata masih disibusidi oleh pemerintah. Sayangnya, masyarakat kurang mampu yang membutuhkannya telah kehilangan BBM premium ini. Rata-rata SPBU menjual pertamax, pertalite dan BBM jenis rendah oktan lainnya.
DPRD Provinsi Sumsel memanggil Pertamina, untuk memberi penjelasan mengenai kelangkaan BBM Premium dan kebijakan kenaikan harga tersebut. Anggota Komisi III DPRD Sumsel, Syaiful Padli dalam rapat dengar pendapat dengan PT Pertamina Refinery Unit III Plaju, mempertanyakan hal tersebut. Sebab, kelangkaan BBM bersubsidi yang secara fakta telah terjadi di Sumsel dan kota Palembang pada umumnya.
“Kalau kita lihat langsung di lapangan, untuk bahan bakar jenis premium itu sudah sangat jarang padahal itu termasuk bbm yang disubsidi oleh pemerintah. Kalaupun ada paling hanya satu jalur yang menyediakan premium, tapi bukan ada di jalur untuk motor. Jadi pengendara motor malah terpaksa mengisi pertalite dengan harga yang lebih tinggi dari premium,” kata Syaiful.
Menurut dia, kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena masyarakat masih membutuhkan BBM bersubsidi, khususnya para pengguna sepeda motor. “Ini keluhan masyarakat, karena tidak semua menggunakan mobil atau sepeda motor sport,”ujar dia.
Field Marketing Retail Manager Marketing Operation, MOR II Pertamina RU III Plaju, Putut Andriatno mengatakan, permintaan bahan bakar jenis khusus seperti pertalite, pertamax, pertamina dex semakin meningkat seiring kemajuan teknologi perusahaam otomotif.
“Perusahaan otomotif saat ini telah memproduksi kendaraan yang mengharuskan penggunaan bahan bakar non timbal dengan nomor oktan yang tinggi yaitu Pertalite dengan nomor oktan 90, Pertamax 90 dan Pertamina dex yang sulfurnya diatas 3300 Ppm,” terangnya.
Hal itu justru memasarkan BBM jenis Pertalite dengan nomor oktan 90 menjadi lebih banyak. Menurut dia, akibatnya distribusi Premium berkurang karena pengusaha SPBU juga lebih banyak membeli Pertalite yang dari segi bisnis lebih menguntungkan.
“Kalau dari instruksi Pemerintah pusat, pertamina masih wajib menyediakan BBM subsidi jenis Premium dan Solar. Namun karena Pertalite lebih tinggi permintaannya, sehingga menyebabkan beberapa pom bensin hanya menyediakan satu jalur bbm jenis premium ini,” kata dia.
Mengenai kenaikan BBM, Putut menjelaskan, Pertamina tidak mempunyai kewenangan dalam menentukan tarif BBM Subsidi, karena penentuan harga bbm subsidi dilakukan langsung oleh Pemerintah Pusat. “Untuk jenis BBM penugasan (Premium, Solar) kembali ke pusat dalam menentukan harganya.Tapi, untuk bahan bakar khusus seperti Pertalite, Pertamax dan Pertamina Dex itu bisa ditentukan oleh Pertamina dengan melihat harga Mean Of Platts Singapore (MOPS) Singapura. Ini agar harganya masih bersaing dengan perusahaan minyak lainnya,”jelas dia.
Masyarakat Desa Semakin Miskin?
Permasalahan inflasi, harga sembako melambung, harga listrik naik, BBM bersubsidi menghilang kini menjadi permasalahan rakyat Indonesia. Warga kota banyak kehilangan pekerjaan, pengangguran semakin meningkat, menjadi semakin kompleks tergerus harga sembilan bahan pokok yang meningkat. Hal ini jelas akan berpengaruh besar bagi semua lapisan masyarakat, termasuk warga pedesaan. Sayangnya, masyarakat desa yang sudah “terbiasa” dengan kehidupan sederhana justru memahami kondisi tersebut. Sumber daya alam yang ada justru memberi jaminan kehidupan bagi mereka. Makanan sederhana dengan sayuran dan ikan dari sungai cukup memberi warga desa kehidupan. Harga sembako yang naik mungkin hanya sedikit memberi pengaruh bagi mereka, tetapi bagaimana dengan listrik? Ternyata data tahun 2014, sebanyak 376 desa di Sumatera Selatan (Sumsel) belum teraliri listrik. Selain karena daerahnya sulit terjangkau, juga karena minimnya dana turut menjadi kendala. Gubernur Sumsel Alex Noerdin mendesak agar PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) segera menyelesaikan masalah tersebut.
Gubernur memberi tenggat waktu 5-6 tahun akan ada penambahan energi listrik baru sebesar 5000 Mega Watt dari 11 pembangkit yang ada di Sumsel. Bahkan, kalau tegangan listrik sudah mencapai sekitar 500 KV dipastikan Sumsel bisa membantu suplai listrik sampai ke Aceh.
Bagaimana dengan BBM bagi masyarakat desa? Ternyata hanya sebagian kecil warga desa yang menggunakan BBM untuk kendaraannya. Secara implisit, warga desa dalam kesederhanaannya telah benar-benar “miskin”, sebelum terjadinya inflasi, kenaikan TDL, BBM, dan tingginya harga cabai di pasaran.
Kemiskinan itu terjadi sejak masuknya investasi yang tidak pro rakyat, masyarakat desa kehilangan lahan dan sawah mereka karena dibangun perkebunan sawit, karet, dan pertambangan. Hermen Malik dalam bukunya Bangun Industri Desa menyebutkan, telah terjadi overshoot dalam pengelolaan sumber daya alam yang berakar tidak terkendalinya nilai keserakahan yang berkembang di masyarakat. Hal ini juga yang menjadi penyebab, perpecahan nilai budaya warga desa, hingga tanpa sadar mereka beramai-ramai menjual lahan mereka lantaran yakin akan adanya perubahan nasib setelah masuknya perusahaan perkebunan.
Ketua Fraksi PAN DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Joncik Muhammad mengatakan, konflik lahan di Sumsel banyak terjadi akibat kesenjangan antara masyarakat dan perusahaan. Kemiskinan yang dirasakan masyarkat telah memicu persoalan yang berlarut. Padahal, jika perusahaan membeli hasil kebun petani, atau semacam inti plasma maka masyarakat juga akan merasakan kesejahteraan bersama.
“Yang terjadi sebaliknya, apalagi beberapa perusahaan yang masuk sebelum reformasi. Sudah berkonflik lahan juga tidak mau berbagi kesejahteraan,”kata Joncik.
Dia menilai, , pemerintah terkesan hanya mencari investor atau perusahaan yang mau menanamkan modalnya. Cara yang digunakan ini, kata Joncik, merupakan sebuah terobosan agar pembangunan infrastruktur suatu daerah dapat terlaksana. Tetapi, kebijakan yang diberikan tersebut tanpa dibarengi dengan jaminan keamanan bagi iklim investasi, dan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
“Ini terjadi sebelum masa reformasi. Ketika itu perusahaan yang berinvestasi masuk dan dibekingi oleh pemerintah berkuasa. Lahan yang diambil tanpa memverifikasi sebelumnya milik siapa,” jelas Joncik.
Anggota Komisi V DPRD Provinsi Sumsel, Ir. Holda, MSi mengatakan, sudah saatnya masyarakat desa bersatu untuk mengembangkan potensi desa mereka dalam berbagai sektor. Seperti sector pertanian, perkebunan, kerajinan, dan pariwisata. Namun, kondisi tersebut belum dikelola maksimal karena kurangnya sosialisasi terhadap produk yang dihasilkan desa tersebut.
“Nah, sudah seharusnya pemerintah kabupaten/kota mengelolanya dengan maksimal, dengan menginformasikan dan mensosialisasikan produk-produk unggulan dari desanya,” tegas Holda.
Dia menjelaskan, seperti di kabupaten Lahat dan Empat Lawang. Cukup banyak tersebar potensi wisata alam yang dapat menyedot para wisatawan dalam dan luar negeri. Tetapi karena kurangnya informasi, maka hal itu belum memberi hasil bagi masyarakat sekitar.
“Padahal, semakin banyak wisatawan yang datang kesuatu daerah tersebut, maka pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar akan turut meningkat,”jelas dia.