Tabloid-DESA.com PALEMBANG – Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang telah menaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga BBM dan kelangkaan premium bersubsidi, telah memicu harga-harga sembako di pasaran. Para warga kota, dikejutkan dengan naiknya kebutuhan pokok, stagnasi ekonomi yang kian lebur dengan jumlah pengangguran yang semakin ramai membuat sebagian warga mengencangkan ikat pinggang.
Tidak jauh berbeda dengan warga pedesaan, kesederhanaan yang akrab dalam kehidupan sehari-hari membuat mereka berfikir puluhan kali, untuk memanfaatkan listrik untuk kebutuhan kehidupan. Harapan mendapatkan sambungan listrik sejak puluhan tahun yang lalu, semakin sirna akibat naiknya kebutuhan pokok kehidupan. Lampu teplok yang mungkin biasa digunakan, harus ekstra dikurangi karena minyak tanah yang dahulu mudah didapatkan kini kian langka. Listrik yang menggunakan jenset atas inisiatif kepala desa, harga sewanya jadi dua kali lipat akibat sulitnya mendapatkan premium. Harga yang harus ditebus warga desa untuk sekedar mendapatkan penerangan selama enam jam perhari.
Para anak-anak desa harus membiasakan diri menatap buku catatan sekolah, dengan penerangan seadanya. Mereka harus tidur lebih sore, sebab besok sebelum subuh mereka harus berjalan kaki menempuh jarak lima kilometer kesekolah. Angkot masih sangat jarang, kalau beruntung ada satu mobil truk yang datang seminggu sekali mengangkut kopi dan buah sawit tanaman masyarakat setempat.
Gambaran ini terjadi setiap hari hampir diseluruh desa yang letaknya terpelosok di Sumsel. Kata sederhana, seakan membalut luka perih kemiskinan masyarakat desa. Harusnya, kita menganalisa kembali bahasa yang membiaskan persoalan hak azazi manusia. Bukankah sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan bagi rakyatnya. Sudah pula menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan makanan yang baik dan berkwalitas bagi rakyatnya.
Namun semua kemiskinan tersebut seakan lenyap lewat kata sederhana. Sering kita dengar ungkapan, masyarakat desa sudah terbiasa dengan kesederhanaannya, orang desa tidak akan terkena imbas ekonomi global, mereka biasa memanfaatkan sumber daya alam yang ada, bertanam kayu jadi roti, atau ungkapan lainnya. Tidak kah kita menyadari, saat manusia yang memiliki fikiran akan bertahan hidup lewat keadaannya. Mereka mencari sesuap nasi, atau menggantinya dengan gadung jika tidak ada beras. Mereka makan ikan sambil menjaga ekosistemnya, lantaran memahami bahwa mereka tidak bisa makan lagi jika terjadi pencemaran lingkungan disungai mereka. Mereka juga tidak bisa menikmati air bersih dari sungai kalau tercemar, atau sebidang kebun yang bermacam-macam tanaman tersebut telah berpindah tangan menjadi lahan industri.
Tidak mudah mengelabui masyarakat lewat kata-kata halus. Seperti halnya ketika moral kita menjadi kian ambruk lantaran maraknya perzinahan oleh pekerja seks komersil. Apa beda lonte dengan PSK? Karena terbiasa mendengarnya, timbul persepsi berbeda dimasyarakat. PSK lebih terhormat daripada lonte? Sebagian mungkin menilainya benar, karena kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang memang tidak bisa dinikmati gara-gara putus sekolah.
Sekarang, apa beda sederhana dengan miskin? Sebagian menilai sederhana adalah sikap orang untuk berlaku bijak dalam membelanjakan hartanya. Bagaimana dengan masyarakat desa, yang jelas-jelas tidak memiliki pendidikan yang memadai, rumah gubuk beralas tanah, makanan seadanya, dan penghasilan bulanan yang jauh dari standar sejahtera. Bukankan kita sedang mengalami kehinaan, bukankah rakyat sedang menjerit karena kebijakan yang menyesakkan dada? Mari kita fikirkan lagi kata sederhana tersebut. Masihkah berlaku untuk kita dan masyarkat desa? Rakyat harus hidup sejahtera bukan sederhana!